Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Jalan Kaki, Keahlian yang Terancam Punah di Jakarta

1 Juni 2020   06:45 Diperbarui: 1 Juni 2020   09:38 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya bukan hanya di Jakarta. Tapi di banyak kota besar di Indonesia. Bahkan di dunia.  Jakarta hanya perwakilan di sini.

Jalan kaki itu  keahlian dasar manusia.  Tapi sering diremehkan setelah dikuasai. Padahal waktu kita balita, jalan kaki pertama adalah mujizat  yang paling dinanti orang tua untuk potong tumpeng.

Dulu lewat getok tular orang sekampung diberitahu kalau anak balitanya sudah bisa jalan kaki. Sekarang orang sedunia harus tahu. Dikabari lewat teknologi komunikasi elektronik. Lewat youtube, instagram ataupun twitter.

Nah, bicara tentang teknologi.  Unsur budaya satu ini luar biasa kuasanya.  Dia bisa melipat jarak dan waktu di genggaman. Telepon genggam berbasis internet contohnya. Alat ini memungkinkan orang mengakses informasi apa saja, kapan saja dan di mana saja.  

Alat yang sama memungkinkan orang saling sapa kapan saja di mana saja.  Pak Menteri dan Pak Dirjen bisa ngobrol gayeng sambil nongkrong di kloset masing-masing. 

Tapi itu cerita ngawur.  Tak ada hubungannya dengan jalan kaki.  

Teknologi transportasilah yang mengancam jalan kaki.  Maksudnya bukan mengancam keselamatan pejalan kaki, kendati itu benar. Sebab menyeberang jalan raya dan menyusuri trotoar adalah kegiatan berisiko terserempet motor sableng.

Bukan, bukan itu.  Ini soal kemampuan dahsyat transportasi modern meringkas waktu. Karena itu juga menghemat energi. 

Itu kalau bicara efisiensi agregat, ya?   Tiga ratus orang dalam satu gerbong MRT lebih hemat energi ketimbang 300 orang menyetir mobil sendiri.

Itu positifnya. Tapi marilah bicara negatifnya. Sebab negatif adalah berita sedangkan positif adalah derita. Bagi kaum "lambe turah", tentu saja.

Negatifnya, teknologi transportasi modern berwatak melumpuhkan. Maksudnya bukan melumpuhkan arus transportasi lewat hobi macet-ria. Tapi melumpuhkan kemampuan atau keahlian manusia berjalan kaki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun