Jelas bahwa pernikahan semarga akan meruntuhkan sendi-sendi Dalihan Natolu, sebagai tatanan sosial masyarakat Batak. Jika Dalihan Natolu tumbang, maka rubuh pula eksistensi bangun sosial-budaya masyarakat Batak.
Itu sebabnya perkawinan dalam masyarakat Batak bukan sebatas keputusan sepasang manusia, melainkan keputusan komunitas adat. Karena salah satu fungsi perkawinan dalam masyarakat Batak adalah menegakkan tatanan Dalihan Natolu.
Pelanggaran terhadap larangan itu akan diganjar sanksi sosial berat. Pasangan itu akan diusir keluar kampung dan tidak diakui secara adat. Artinya tidak diakui eksistensinya dalam tatanan sosial adat Batak. Dengan kata lain, "dipecat" secara adat sebagai orang Batak. Â
Bahkan sanksinya bisa lebih parah lagi, jika merujuk sejarah sosial-adat Batak.Â
Sebagai contoh, dalam legenda Sariburaja (putra kedua Lontung/Tateabulan), yang dikisahkan menikah dengan kembarannya Boru Pareme, keduanya diputuskan oleh adik-adiknya (Limbong, Sagala, Malau) untuk dibunuh.Â
Walaupun kemudian tidak jadi dibunuh, moral legenda itu sangatlah terang: nikah semarga tidak beradat, merusak tatanan sosial adat, aib besar, sehingga pelakunya "harus dilenyapkan".
***
Ada satu pendapat yang mengatakan nikah semarga dilarang pada orang Batak karena tergolong inses yang bisa menyebabkan cacat genetik pada keturunan.
Walaupun dari segi ilmu biologi dan kesehatan pendapat itu benar, tapi itu bukan alasan larangan kawin sumbang pada orang Batak. Buktinya perkawinan dengan pariban, putri tulang (saudara kandung ibu) atau putra namboru (saudari kandung ayah), sangat dianjurkan secara adat. Padahal perkawinan semacam itu tergolong inses, karena ayah atau ibu mempelai masih saudara kandung dengan ayah atau ibu mertua.
Satu-satunya alasan menganjurkan pernikahan semacam itu adalah alasan kesesuaian dengan adat Dalihan Natolu. Jika seorang pemuda menikah dengan putri tulang kandungnya, berarti dia mengikuti jejak ayahnya, menikah dengan marga hula-hula. Dengan begitu kedudukannya sebagai boru semakin kuat. Â
Kini pernikahan antar pariban itu sedapat mungkin dicegah lembaga gereja, antara lain Gereja Katolik. Pertimbangannya, hal itu tergolong inses yang tidak pantas (dosa) dan dapat menyebabkan cacat genetik pada keturunan.
Jadi, alasan pokok larangan pernikahan semarga pada orang Batak adalah untuk menegakkan dan melestarikan adat Dalihan Natolu, pilar eksistensi sosial, ekonomi, politik, dan budaya orang Batak. Tanpa Dalihan Natolu, tak ada masyarakat adat Batak.