"Jolo tiniptip sanggar, laho bahen huruhuruan; Jolo sinungkun marga, asa binoto partuturon." Artinya: "Batang pimping dipotong, untuk membuat sangkar burung; Tanyakan dulu marga, agar tahu kekerabatan."
Itu etikanya kalau seorang pemuda Batak naksir pada seorang pemudi Batak yang belum dikenalnya. Entah itu di bus umum, kapal danau, pasar, gereja, pentas seni, pesta muda-mudi atau pesta adat.
Tujuan menanyakan marga itu untuk memastikan keduanya tidak semarga. Atau mereka bukan dari dua marga yang menurut padan, perjanjian adat, tidak boleh saling menikah.
Jika keduanya semarga, maka lupakan saja rasa cinta. Keduanya secara adat dianggap namariboto, saudara dan saudari sedarah. Pernikahan antara keduanya dianggap kawin sumbang yang dilarang dan terlarang.
Atau jika keduanya, walau beda marga, berasal dari satu rumpun yang secara adat terlarang menikah, maka lupakan jugalah rasa cinta.Â
Larangan seperti ini, berdasar padan, berlaku misalnya pada rumpun marga Parsadaan Naiambaton (Parna), mencakup marga-marga Simbolon, Tamba, Saragi, dan Munte serta cabang-cabangnya, sekitar 80-an marga.Â
Jadi, pernikahan Simbolon dan Saragi misalnya dianggap kawin sumbang, sehingga dilarang dan terlarang.
Pertanyaan kritisnya, mengapa pernikahan semarga terlarang dalam masyarakat Batak (Toba), walau secara biologis sebenarnya tidak ada lagi hubungan darah. Misalnya antara pemuda dan pemudi yang sudah terpisah ke samping sampai belasan sundut, generasi.
***
Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu harus dipahami struktur masyarakat adat Batak.
Struktur masyarakat adat Batak adalah struktus genealogis yang disebut Dalihan Natolu, Tungku Kaki-Tiga. Struktur itu tegak oleh tiga kelompok status utama yaitu hulahula, dongan tubu, dan boru.
Tiga kelompok tersebut terikat oleh hubungan sosial adat yang bersifat tegas, tidak dapat dipertukarkan. Hulahula adalah pihak marga pengambilan isteri. Boru adalah pihak marga penerima isteri. Sedangkan dongan tubu adalah kerabat sedarah atau semarga dari hulahula dan boru.