Memang itulah yang diprediksi akan terjadi. The SMERU Research Institut misalnya sudah membuat skenario tentang hal itu. Â Skenario terburuk, jika ekonomi Indonesia hanya tumbuh 1% tahun 2020, maka angka kemiskinan akan meningkat dari 9.2% (2019, 24.8 juta jiwa) m,enjadi 12.4% (33.2 juta jiwa). Â
Skenario terbaik, pertumbuhan ekonomi 4.2% sehingga angka kemiskinan hanya naik sedikit menjadi 9.2% (26.1 juta jiwa). Â Ini kelihatannya sulit terwujud.
Jika pada masa "normal baru", mungkin mulai pertengah Juni 2020, terjadi involusi pertanian dan kemiskinan di pedesaan, siapakah yang harus disalahkan? Â Presiden Jokowi atau Gubernur Anies?
Ada salahnya juga Presiden Jokowi. Dia lupa belajar dari kecenderungan Gubernur Anies me-lock down Jakarta. Jika mempertimbangkan soal itu, maka kebijakan pembolehan pulang kampung mungkin beda skemanya.
Tapi di atas itu sekali lagi yang harus disalahkan adalah "kematian" Sosiologi. Seandainya Sosiologi "hidup" maka Presiden Jokowi dan Gubernur Anies pasti bersinergi dalam kebijakan pulang kampung, sehingga risiko involusi pertanian dan kemiskinan terbagi dapat ditekan serendah mungkin.
Trade-Off Kesehatan dan Ekonomi
Saya kira kebijakan pelonggaran PSBB adalah trade-off antara kepentingan kesehatan (pengakhiran pandemi Covid-19) dan kepentingan ekonomi nasional.Â
Jika PSBB diberlakukan ketat, maka kemungkinan kegiatan ekonomi akan menunjukkan gejala kolaps pada pertengahan Juni 2020. Ditandai dengan PHK massal karena pengusaha tidak mampu lagi membiayai operasional perusahaan. Para pengusaha sudah mengirim sinyal itu.
Kebijakan pembolehan pulang kampung oleh Presiden Jokowi adalah bagian dari trade-off tersebut. Sehingga sudah sepantasnya diimbangi oleh Gubernur Anies dengan kebijakan "kembali kerja ke kota". Jakarta adalah lahan ekonomi orang desa. Sehingga menutup Jakarta sama saja dengan "membunuh" ekonomi desa.
Kesehatan penting, tapi ekonomi juga sama pentingnya. Pilihannya adalah bebas dari Covid-19 tapi juga tetap aman secara ekonomi, dengan cara menerapkan protokol Covid-19 secara ketat. Sekali lagi, ini soal solidaritas sosial yang tadi disinggung di atas.
Pada akhirnya, saya ingin mengatakan, kendatipun Sosiologi sudah lama "mati", hendaknya pertimbangan-pertimbangan sosiologis dimasukkan dalam kebijakan PSBB, termasuk dalam protokol Covid-19. Â Â