Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Dialog Terakhir Pemabuk Tua dan Istrinya

5 Mei 2020   22:31 Diperbarui: 6 Mei 2020   09:35 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istri yang silih asah adalah suluh dalam gelap, penerang jalan lurus bagi suaminya, yang percaya mabuk tuak adalah jalan terpendek menuju surga.

"Istriku, engkau putri rajaku, terjadilah menurut perkataanmu, engkaulah suluhku, kan ku tapaki jalan yang kau terangi, tapi segelas tuak adalah permintaan terakhirku, aku haus."

Lelaki tua pemabuk itu memasrahkan diri pada istrinya, seraya berharap akan segelas tuak terakhir,  pada dini hari yang dingin menjelang kokok ayam ketiga, dari gelap kolong rumah panggung milik mereka, tempatnya terbujur setelah hembusan nafas terakhir.  

Suami pemabuk belum selesai menghitung hembusan nafas terakhir, saat si begu laos lewat tanpa suara menyambar jiwanya, meninggalkan raganya membeku di kolong rumah, tanpa siraman segelas tuak terakhir.

"Suamiku,  aku adalah  segelas tuak tua  nikmat tiada tara, yang tak kan habis kau reguk, maka teguklah aku sepuasmu, lalu kita menyatu menapak jalan bahagia menuju rumah Mulajadi Nabolon."

Istri berhati luas mengirim pesan damai kepada suaminya, pada dini hari tepat saat kumandang kokok ayam ketiga, dari dalam balutan sarung katun tua milik suaminya,  yang setia menghangatkannya dalam dingin malam-malam sepi.  

Isteri yang silih asuh asih asah selalu membuka pintu hati untuk suaminya, di balik pintu rumah yang tertutup rapat, sebab cinta adalah karunia yang menembus batas ruang dan waktu, di dunia orang-orang hidup dan mati.(*)
 

*) si begu laos = pandemi; Mulajadi Nabolon = Sang Pencipta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun