"Istriku, bila nanti ajalku menjelang, berilah aku segelas tuak, maka aku akan mati dalam senyum." Â
Lelaki tua pemabuk mengirim pesan kepada perempuan tua istrinya, pada dini hari yang dingin menjelang kokok ayam pertama, dari gelap kolong rumah panggung milik mereka, tempatnya terkapar menghabiskan sisa malam.Â
Istri yang silih asuh tak hendak memberi pintu, bagi suaminya yang mabuk tuak, yang selalu pulang dari lapo saban dini hari.
"Suamiku, tidak, bila nanti ajalmu menjelang, kan ku beri kau sejuta maaf, maka kau akan mati dalam damai." Â
Istri menampik pesan suaminya, Â pada dini hari tepat saat kumandang kokok ayam pertama, dari atas pangkuan sebuah dipan tua, teman setianya mengarungi sepi malam-malam yang dingin. Â
Istri yang silih asih adalah pemaaf tiada batas, demi harapan tobat bagi suami pemabuk, yang mencintai segelas tuak lebih dari apapun.
"Istriku, tuak adalah jiwaku, segelas saja cukuplah, untuk kuserahkan kepada Mulajadi Nabolon, bila saatnya tiba Dia memanggilku."
Lelaki tua pemabuk tak menyerah merayu istrinya, pada dini hari yang dingin menjelang kokok ayam kedua, dari gelap kolong rumah panggung milik mereka, tempatnya terbaring menghitung hembusan nafasnya. Â
Suami pemabuk selalu punya selangit alasan, selimut bagi kelemahannya, tidak mampu keluar dari penjara tabiat buruknya. Â
"Suamiku, Â aku adalah jiwamu, lebih dari samudera tuak sedunia, tanggungjawabmu padaku kan ditagih Mulajadi Nabolon padamu, kelak di waktu Dia datang menjemputmu."
Istri menampik rayuan suaminya, pada dini hari tepat saat kumandang kokok ayam kedua, dari dalam balutan selimut tikar anyaman sendiri, Â yang setia memeluknya melewati dingin malam-malam sepi. Â
Istri yang silih asah adalah suluh dalam gelap, penerang jalan lurus bagi suaminya, yang percaya mabuk tuak adalah jalan terpendek menuju surga.
"Istriku, engkau putri rajaku, terjadilah menurut perkataanmu, engkaulah suluhku, kan ku tapaki jalan yang kau terangi, tapi segelas tuak adalah permintaan terakhirku, aku haus."
Lelaki tua pemabuk itu memasrahkan diri pada istrinya, seraya berharap akan segelas tuak terakhir, Â pada dini hari yang dingin menjelang kokok ayam ketiga, dari gelap kolong rumah panggung milik mereka, tempatnya terbujur setelah hembusan nafas terakhir. Â
Suami pemabuk belum selesai menghitung hembusan nafas terakhir, saat si begu laos lewat tanpa suara menyambar jiwanya, meninggalkan raganya membeku di kolong rumah, tanpa siraman segelas tuak terakhir.
"Suamiku,  aku adalah  segelas tuak tua  nikmat tiada tara, yang tak kan habis kau reguk, maka teguklah aku sepuasmu, lalu kita menyatu menapak jalan bahagia menuju rumah Mulajadi Nabolon."
Istri berhati luas mengirim pesan damai kepada suaminya, pada dini hari tepat saat kumandang kokok ayam ketiga, dari dalam balutan sarung katun tua milik suaminya, Â yang setia menghangatkannya dalam dingin malam-malam sepi. Â
Isteri yang silih asuh asih asah selalu membuka pintu hati untuk suaminya, di balik pintu rumah yang tertutup rapat, sebab cinta adalah karunia yang menembus batas ruang dan waktu, di dunia orang-orang hidup dan mati.(*)
Â
*) si begu laos = pandemi; Mulajadi Nabolon = Sang Pencipta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H