Dalam kasus artikel "mendunia" ini, saya puas karena terkabulnya harapan meraih "banyak pembaca" dari berbagai negara.
Tak hanya itu. Â Saya juga mendapat pelajaran baru. Lupakan ungkapan "Biarkan tulisan menemukan takdirnya".
Ungkapan itu hanya berlaku untuk Pramoedya Ananta Toer. Â Sebab sastrawan kelas dunia itu tak lagi menyajikan "tulisan" melainkan "kualitas". Â
Untuk sosok Pram, ungkapan itu harus dimaknai, "kekuasaan bisa mengasingkan tulisan berkualitas tapi pembaca akan menemuinya". Â
Untuk  penulis amatiran seperti saya, yang hanya menulis di Kompasiana, ungkapan tadi tidak berlaku.  Sebab artikel saya bukan sajian "kualitas", melainkan sajian "upaya lebih baik". Â
Maksud saya, artikel hari ini harus lebih baik dari kemarin. Artikel besok harus lebih baik dari hari ini. Â Demikian seterusnya. Â
Karena menulis bagi saya adalah proses belajar menuju "kualitas".
Saya selalu tekankankan pada diri, tulislah yang lebih baik hari ini dan menulislah untuk dunia. Â
Ya, menulis untuk dunia. Â Berlebihan? Tidak. Itu adalah konsekuensi logis penerbitan tulisan di media on-line "kelas dunia" seperti Kompasiana. Â Seluruh warga dunia berpotensi menemukan dan membacanya.
Saya mau katakan, di luar sana, di seluruh pojok dunia, banyak pembaca yang mencari sesuatu yang menurut mereka adalah "kualitas". Â
Saya tak pernah tahu ukuran "kualitas" menurut para pembaca itu. Â Tapi saya tahu pasti, demi pembaca sedunia, saya harus berupaya menulis artikel yang lebih baik dari hari ke hari.