"De hariara symboliseert de sterke band van de Batak, een Sumatraanse bevolkingsgroep, met de natuur. Nederlandse protestantse missionarissen verboden eind negentiende eeuw het traditionele geloof in deze reusachtige boom." Â
Petikan di atas adalah paragraf pembuka artikel "De wolkenkrabbers van Sumatra" (Pencakar-langit dari Sumatera). Â Tulisan itu dimuat dalam majalah on-line 360magazine (www.360magazine.nl), edisi 15 Januari 2020. Â
Majalah  360magazine adalah media berbahasa Belanda terbitan Nederland. Media ini diakses khalayak berbahasa Belanda di seluruh dunia. Sekurangnya di Nederland dan Suriname.
"De wolkenkrabbers van Sumatra", yang dimuat media itu, Â adalah alih-bahasa artikel "Hariara, Pohon Tertinggi Sejagad yang Ada di Tanah Batak". Â Itu tulisan saya di kompasiana.com pada 5 April 2019, setahun lalu. Â
Menakjubkan, setidaknya bagi saya. Untuk kedua kalinya artikel itu dialih-bahasakan dan terbit di media on-line internasional.
Sebelumnya artikel yang sama telah diterjemahkan  ke Bahasa Perancis dengan judul  "Sumatra, l'arbre gratte-ciel au carrefour des mondes". Tulisan itu dimuat dalam Courrier International edisi 19 Desember 2019. Ini koran on-line yang bermarkas di Paris.
Pemuatan di Courrier International itu sudah saya laporkan pada "Artikel Kompasiana Headline di Courrier International Perancis" di kompasiana.com tanggal 20 Desember 2019.
Apa makna alih-bahasa artikel itu ke bahasa Perancis dan Belanda dan pemuatannya di media on-line internasional?
Mungkin terdengar berlebihan. Â Tapi bolehlah saya bilang artikel Kompasiana, "Hariara, Pohon Tertinggi Sejagad yang Ada di Tanah Batak", itu telah mendunia.
Klaim "mendunia" itu bukan mau sombong. Hanya sekadar mengungkap  rasa bangga selaku warga Kompasiana. Berkat wahana "blog keroyokan" ini, gagasan saya telah dibaca khalayak internasional. Â
Harapan seorang penulis menurut saya hanya dua. Â Banyak pembaca dan banyak duit. Bagus kalau keduanya tercapai. Tapi jika hanya satu pun, cukuplah.
Dalam kasus artikel "mendunia" ini, saya puas karena terkabulnya harapan meraih "banyak pembaca" dari berbagai negara.
Tak hanya itu. Â Saya juga mendapat pelajaran baru. Lupakan ungkapan "Biarkan tulisan menemukan takdirnya".
Ungkapan itu hanya berlaku untuk Pramoedya Ananta Toer. Â Sebab sastrawan kelas dunia itu tak lagi menyajikan "tulisan" melainkan "kualitas". Â
Untuk sosok Pram, ungkapan itu harus dimaknai, "kekuasaan bisa mengasingkan tulisan berkualitas tapi pembaca akan menemuinya". Â
Untuk  penulis amatiran seperti saya, yang hanya menulis di Kompasiana, ungkapan tadi tidak berlaku.  Sebab artikel saya bukan sajian "kualitas", melainkan sajian "upaya lebih baik". Â
Maksud saya, artikel hari ini harus lebih baik dari kemarin. Artikel besok harus lebih baik dari hari ini. Â Demikian seterusnya. Â
Karena menulis bagi saya adalah proses belajar menuju "kualitas".
Saya selalu tekankankan pada diri, tulislah yang lebih baik hari ini dan menulislah untuk dunia. Â
Ya, menulis untuk dunia. Â Berlebihan? Tidak. Itu adalah konsekuensi logis penerbitan tulisan di media on-line "kelas dunia" seperti Kompasiana. Â Seluruh warga dunia berpotensi menemukan dan membacanya.
Saya mau katakan, di luar sana, di seluruh pojok dunia, banyak pembaca yang mencari sesuatu yang menurut mereka adalah "kualitas". Â
Saya tak pernah tahu ukuran "kualitas" menurut para pembaca itu. Â Tapi saya tahu pasti, demi pembaca sedunia, saya harus berupaya menulis artikel yang lebih baik dari hari ke hari.
Sebab jika hari ini tidak bisa menulis lebih baik dari kemarin, "Apa kata dunia?"
Lagi pula, jika kesertaan sebagai Kompasianer tidak meningkatkan mutu tulisan, apalah gunanya bertahan di Kompasiana na balau (nan biru) ini?
"Dit was mijn getuigenis, ik ben Felix Tani, een boer die als kind nog met zijn speelkameraadjes en met apen vocht om de rijpe vruchten van de hariara." (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H