Gampang. Lihat saja KTP-nya. Ambil contoh warga DKI Jakarta. Warga permanen Jakarta adalah pemegang KTP DKI Jakarta. Tak perduli di mana dia dilahirkan.
Sedangkan warga temporal Jakarta adalah pemegang KTP Non-DKI Jakarta, tapi punya dokumen izin tinggal sementara di Jakarta. Untuk orang asing misalnya ada dokumen KITAS (Kartu Ijin Tinggal Terbatas). Untuk orang Indonesia, umumnya migran sirkuler, harusnya juga punya dokumen ijin tinggal sementara.
Warga temporal ini, umumnya migran sirkuler, jumlahnya banyak di Jakarta. Mereka umumnya mengisi lapangan kerja dan usaha informal di Jakarta. Antara lain buruh bangunan/konstruksi, pedagang kaki-lima/keliling, pramuwisma, penjaga toko, tukang ojek/bajaj, dan pemulung.
Kelompok migran sirkuler ini secara berkala pulang ke kampungnya untuk bertemu keluarga inti dan menjalani hidupnya sebagai “orang kampung”. Sebab pada dasarnya migran sirkuler itu adalah “orang kampung permanen” yang tinggal temporal untuk cari nafkah di kota.
Pak Jokowi benar. Mereka ramai-ramai pulang kampung karena Pandemi Covid-19 telah diikuti kebijakan dan langkah mitigasi yang berimplikasi penciutan peluang kerja dan usaha.
Semisal kebijakan dan langkah “Isolasi Diri” (tinggal di rumah, tutup kantor/toko/sekolah,bjaga jarak sosial, jaga jarak fisik) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini untuk sebagian bahkan berimplikasi pemutusan hubungan kerja.
Jadi jika kelompok migran sirkuler itu kembali ke kampung halamannya, maka sebenarnya mereka sedang menjalankan strategi “penyelamatan diri” secara ekonomi.
Biaya hidup di kota tinggi. Sementara penghasilan turun atau bahkan nol. Maka pilihan paling rasional adalah kembali ke kampung asalnya.
***
“Itu tetap saja mudik artinya!” Mungkin ada yang tetap berkeras, bahwa “mudik” dan “pulang kampung” itu sama saja.
“Cuma politisi saja yang gemar membedakannya, demi kepentingan politiknya.” Mungkin begitu argumennya, mengutip pendapat Ivan Lanin, pendiri Narabahasa dan Wikimedia Indonesia itu. “Kamus sudah mati,” kata Ivan.