Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Lelaki yang Ditolak Manusia

14 April 2020   06:21 Diperbarui: 14 April 2020   13:39 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki itu lusuh berpeluh. Berdebu lagi meruap bau. Membawa serta luka berdarah di tubuh.  

Bel pintu sebuah rumah mewah di gigir kota berdering.  

"Aku lapar.  Berilah barang sekerat roti." Lelaki itu memohon. Tuan rumah berkacak pinggang.  Jaga jarak di balik pagar besi.

"Enyahlah! Kau perusuh.  Kami sedang menonton Misa Jumat Agung di televisi." Tuan rumah kasar mengusir.

Pagar besi sebuah Katedral di pusat kota berdenting beradu batu.

"Aku haus. Berilah barang seteguk anggur." Lelaki itu memohon.  Koster Katedral  berkacak pinggang.  Jaga jarak di balik pagar besi.

"Enyahlah! Kau penyakit. Anggur hanya untuk para imam. Mereka sedang menyiarkan Misa Jumat Agung dari altar." Koster Katedral kasar mengusir.

Pagar besi sebuah pemakaman umum di ujung desa berderit tergoyang.

"Aku mati. Berilah barang selubang makam." Lelaki itu memohon. Penjaga makam berkacak pinggang. Jaga jarak di balik pagar besi.

"Enyahlah! Kau pagebluk. Makam ini hanya orang mati beriman." Penjaga kubur kasar mengusir.

Lelaki itu pergi. Luntang-lantung di jalanan kota.  Beratap langit beralas tanah.  Ditolak di segala penjuru.

"Awas! Ada corona berkeliaran!" Seseorang berteriak histeris.  Diikuti teriakan massa.  Lalu hujan batu merajam.  

"Enyahlah ke tempat asalmu!" Bergema teriak kasar mengusir.

Lelaki itu pergi tertatih.  Luka tubuh semakin parah berdarah.  Tanah berubah merah.

Dia melangkah pulang ke tempat asal. Ke Golgota. Tergantung di kayu salib. Dikawal dua penjahat tersalib di kiri dan kanan.

Hari itu hari Jumat.  Seorang Lelaki kelaparan, haus, lalu mati terpaku di salib.  

Dia Putera Manusia. Disalibkan untuk manusia. Tapi hadirNya ditolak manusia.(*)

*)Jakarta, 10 Mei 2020. Sebuah refleksi Jumat Agung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun