Kedua, turun ke selatan, ke lembah-lembah bersungai di pantai luar barat sampai selatan Danau Toba. Mulai dari lembah Harianboho, Sihotang, Tamba, Sabulan, Janjiraja, Tipang, Bakkara, Muara, Meat, lalu ke Tobaholbung (Balige dan sekitarnya) dan Uluan (Porsea dan sekitarnya).
Proses migrasi itu pada dasarnya adalah persaingan penguasaan wilayah tanah baru, khususnya lembah untuk persawahan. Sekali ditemukan dan dikuasai suatu lembah, maka di situ didirikanlah huta, lalu horja, kemudian bius baru, mengikuti model bius Sianjurmulamula.
Dalam persaingan penguasaan tanah baru itu, nyata belahan Lontung berada di pihak yang "kalah", antara lain karena faktor jumlah warga yang lebih kecil.
Wilayah kekuasaan Lontung menjadi semacam enklaf saja di tengah wilayah kekuasaan Sumba. Di pantai barat, ada enklaf Sabulan, Janjiraja, dan Muara yang dikuasai marga-marga kelompok Sariburaja, khususnya sub-kelompok Siraja Lontung.
Lalu di Samosir utara ada enklaf-enklaf huta Malau ("saudara" Sariburaja"), mencakup marga-marga Manik, Ambarita dan Gurning, di Rianiate, Pangururan, Salaon (di Ronggurnihuta), Simanindo (huta Ambarita), dan Sipolha.
Kelompok Malau ini kalah dalam persaingan penguasaan tanah dari Sagala dan Limbong, sehingga terpaksa mengelana keluar dari Sianjurmulamula. Untungnya kelompok ini diterima bermukim di wilayah kekuasaan belahan Sumba, di Samosir utara.
Belahan Sumba yang menguasai Samosir utara adalah kelompok turunan Naiambaton, dengan marga-marga induk Simbolon, Munte, Tamba, dan Saragi.
Penanda wilayah kekuasaan antara lain adalah huta atau bius. Misalnya ada huta Siallagan (cabang marga Tamba) di Simanindo dan huta Situngkir (Saragi) di Pangururan. Lalu, dahulu ada bius Simbolon dan Simarmata (cabang Saragi).
Batas wilayah Sumba dan Lontung, atau Samosir Utara dan Selatan, adalah garis imajiner yang (diperkirakan) ditarik dari perbatasan bius Palipi dan Hatoguan di pantai barat sampai perbatasan bius Lontung dan Tomok (bius Sidabutar) di pantai timur (lihat Peta 1).