Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sosiologi Pekuburan: Pendatang Dilarang Masuk Kubur

26 Maret 2020   23:31 Diperbarui: 28 Maret 2020   10:30 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang warga sedang mencari rumput pakan sapi di

Kata orang yang sok tahu, "Kalau sudah mati, manusia hanya perlu tanah satu kali dua meter. Sebab dunia orang mati adalah dunia egaliter.   Tak kenal suku, agama, ras, dan golongan."

Ya, orang sok tahu namanya itu.  Sebab orang mati itu tunduk pada orang hidup.   Bagaimana jasadnya akan diperlakukan, tergantung tradisi dan norma sosial yang hidup pada keluarga atau komunitas asalnya.  

Sederhananya, tergantung pada suku, agama, ras, dan golongannya.

Begitulah.   Orang Toraja tak perlu tanah satu kali dua meter untuk kuburan.   Karena jasad orang mati di Tana Toraja diletakkan di gua-gua batu.   Atau, sekarang, di dalam "makam beton".

Orang Tionghoa tak selalu perlu tanah kubur.   Karena sebagian memilih dikremasi, lalu abunya ditempatkan di rumah abu.   Atau, kalau perlu tanah, sering lebih dari satu kali dua meter.  Ada yang seukuran rumah dan makamnya dibangun mewah.

Di pemakaman umum, juga ada segregasi menurut agama.   Kuburan Kristen sebelah sini, kuburan Islam sebelah sana.  Itu pembagian bloknya jelas.  Tak boleh ada yang menyeberang.

Tapi  tentu saja,  selalu bisa ditemukan pekuburan umum yang lintas suku, agama, ras, dan golongan. Itu bisa disebut pemakaman "Bhinneka Tunggal Ika".  

Contohnya Taman Pemakaman Umum Untoroloyo di Solo.  Makam-makam di sini campur aduk antar suku, agama,dan ras.

Nah, terkait "golongan",  di Jakarta lazim ditemukan pekuburan "pribumi" atau "warga asli".  Hanya warga asli yang boleh dimakamkan di situ.   Pendatang tidak boleh, harus cari tempat lain.

Saya akan ungkapkan satu kasus saja yaitu kuburan Gang Sapi (pesudonim) di Jakarta Selatan.

***
Gang Sapi, seperti sudah pernah saya paparkan dalam satu seri artikel di Kompasiana, adalah kampung asli Betawi.   Gang Sapi berada di antara Jalan Buncit Raya dan Jalan Bangka Raya, Jakarta Selatan.

Sekarang penduduk Gang Sapi tak melulu orang Betawi.  Sudah banyak pendatang dari wetan yang tinggal di kampung ini. Umumnya dengan status migran sirkuler. Kebanyakan datang dari wilayah Brebes dan Tegal.

Pekuburan Gang Sapi tampak depan (Dokpri)
Pekuburan Gang Sapi tampak depan (Dokpri)
Tapi ada juga migran yang kemudian  menjadi penduduk tetap Gang Sapi.  Sebagian karena pindah domisili ke kampung ini.  Sebagian lagi karena berjodoh dengan gadis atau jejaka Betawi, lalu menikah dan menetap di situ.

Ada dua penciri Gang Sapi sebagai kampung asli Betawi.   Mesjid wakaf dan kuburan wakaf. Maksudnya, tuan tanah Gang Sapi dulu mewakafkan tanahnya untuk rumah ibadah masjid dan untuk pemakaman warga asli.

Begitulah, pekuburan Gang Sapi didefinisikan warga Gang Sapi sebagai "kuburan pribumi".   Dengan "pribumi" yang dimaksud adalah "warga asli".  "Warga asli" Gang Sapi berarti orang (etnis) Betawi yang sudah turun-temurun bermukim di situ.

Untuk menegaskan pendefinisian itu, maka diperlukan memasang dua plakat di pintu masuk kuburan.  Isi plakat pertama: "Pemakaman Ini Hanya Untuk Warga Asli di Sini dan Jangan Ditembok".    

"Warga asli" di situ maksudnya orang Betawi kelahiran Gang Sapi.  Ada larangan "jangan ditembok".  Maksudnya jangan dikijing, cukup diberi gundukan tanah dan di atasnya ditancapkan nisan. Ini kearifan lokal untuk "kuburan hijau".

Isi plakat kedua: "Makam Ini untuk Pribumi. Orang Pendatang Udah Tidak Bisa lagi Karena Sudah Penuh."  "Pribumi" maksudnya sebagai penegasan untuk "warga asli" yaitu orang Betawi kelahiran Gang Sapi.  

Dengan "pendatang" dimaksudkan adalah semua penduduk Gang Sapi yang "bukan orang Betawi kelahiran Gang Sapi".  Jadi orang Betawi kelahiran kampung lain dianggap "pendatang" juga.

Frasa "orang pendatang udah tidak bisa lagi karena sudah penuh" ada penjelasannya. Dulu, sebelum tanah makam penuh, "orang pendatang" boleh juga dikuburkan di situ.   Sekarang, karena "sudah penuh", maka "orang pendatang" tidak boleh lagi masuk kubur di situ.

Tetap ada yang menggelikan.  Alasan "karena sudah penuh" mestinya tidak hanya berlaku untuk "orang pendatang".  Tapi juga untuk "pribumi" atau "warga asli".   Sebab kalau "sudah penuh", memangnya mau dikubur di mana lagi?

Tapi memang ada pilihan.   Kuburan baru bisa digali di celah dua kuburan lama.  Itu sebabnya ada larangan "jangan ditembok".  Agar tak nenyulitkan penggalian makam baru. 

Pilihan lain, jasad baru dikubur di atas jasad lama, khususnya untuk yang berkerabat dekat. Namanya makam bertingkat.  Mengkuti pola rumah tingkat manusia hidup.

Pilihan-pilihan seperti itu lebih dimungkinkan, atay tepatnya dikhususkan, untuk "warga asli" yang lazimnya masih berkerabat.

***

Sepintas, judul artikel ini, juga paparan ringkas tentang pekuburan Gang Sapi di atas, mengesankan diskriminasi warga asli ("pribumi") terhadap pendatang. Seolah-olah warga Betawi asli Gang Sapi menolak pendatang.

Sejatinya tidak harus dimengerti seperti itu. Agar tak salah paham, saya akan coba berikan penjelasan sosiologisnya.  

Begini.  Pertama, pekuburan khusus kampung itu adalah gejala umum.  Bukan eksklusif kampung Betawi. Lazim setiap kampung atau desa di Nusantara punya pekuburan sendiri.  

Asal-usul tanah kuburan itu bisa merupakan tanah adat atau tanah desa yang disisihkan untuk keperluan itu.  Bisa pula merupakan tanah wakaf dari seorang "raja tanah" setempat.

Aturan yang berlaku, seturut adat berkampung atau berdesa, pekuburan semacam itu memang dikhususkan bagi warga asli kampung atau desa.  Warga pendatang, yang tak punya ikatan genealogis dengan warga kampung, lazimnya tak punya hak untuk dimakamkan di situ.

Lain ceritanya jika pendatang itu telah diterima sebagai bagian dari warga asli. Lazimnya karena ikatan perkawinan. Pendatang semacam itu  punya hak untuk dimakamkan di pekuburan "warga asli".

Tapi aturan tidaklah sekaku itu.  Melalui kesepakatan tokoh-tokoh kampung,  bisa saja "pendatang murni" dimakamkan di pekuburan warga asli.  Itu nsmanya solidaritas sosial.

Hal seperti itu sempat terjadi di pekuburan Gang Sapi. Sebelum kemudian kuburan itu menjadi terlalu padat.  

Seorang warga sedang mencari rumput pakan sapi di
Seorang warga sedang mencari rumput pakan sapi di
Kedua, luas areal pekuburan kampung itu lazimnya tetap.  Sedangkan jumlah penduduk bertambah terus. Seiring itu jumlah warga meninggal juga semakin banyak.

Akibatnya kuburan menjadi sesak. Sehingga warga asli menjadi terancam masa depannya, tidak dapat petak kubur di pekuburan kampung sendiri.

Itulah alasannya mengapa pekuburan Gang Sapi  dinyatakan "sudah penuh".  Itu untuk menjamin hak warga asli untuk dimakamkan di tanah pekuburan kampungnya sendiri.

Harus diingat juga, tanah kuburan Gang Sapi berstatus wakaf.  Aslinya memang diperuntukkan warga asli situ.

Jadi penolakan pada jasad pendatang itu sejatinya adalah respon sosial terhadap tingginya angka kepadatan penduduk.  Akibat pertumbuhan penduduk yang pesat di perkotaan.

Agaknya bukan hanya kampung perkotaan yang terinvolusi.  Dunia orang mati, dunia bawah tanah, juga terinvolusi. Terlalu banyak jenazah di lahan kuburan yang terlalu sempit.

Jadi warga asli Gang Sapi bukannya anti pendatang. Mereka sangat terbuka menerima pendatang. Terutama migran sirkuler yang mengontrak kamar di rumah warga.  Itu sumber penghasilan penting.

Andaikan ada sistem "kontrak kuburan", mungkin warga Gang Sapi tidak keberatan juga menerima jasad pendatang di kuburan kampungnya. Lumayan untuk tambahan nafkah, bukan? 

Tapi manalah ada sistem macam itu. Susah membayangkan kontrak kuburan mingguan atau bulanan. Gimane cara?

Lantas ke mana warga pendatang di Gang Sapi dimakamkan saat ajal tiba? 

Santuy aja. Pemerintah Jakarta sudah menyediakan sejumlah taman pemakaman umum yang luas dan asri. Tinggal pilih sesuai domisili atau minat.

Atau kalau tak sudi dimakamkan di Jakarta, bisa juga jenazahnya "mudik". Dimakamkan di tanah pekuburan kampung asalnya.

Lantas apa yang bisa disimpulkan? Kasus pekuburan Gang Sapi menunjukkan bahwa solidaritas sosial ada pembatasnya yaitu kelangkaan sumberdaya.  

Mungkin bisa dibuat kesimpulan hipotetis: Semakin langka sumberdaya, semakin rendah kadar solidaritas sosial.

Begitulah tuturanku, Felix Tani, petani mardijker, merangkap pengamat kuburan.(*)
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun