Kata orang yang sok tahu, "Kalau sudah mati, manusia hanya perlu tanah satu kali dua meter. Sebab dunia orang mati adalah dunia egaliter. Â Tak kenal suku, agama, ras, dan golongan."
Ya, orang sok tahu namanya itu. Â Sebab orang mati itu tunduk pada orang hidup. Â Bagaimana jasadnya akan diperlakukan, tergantung tradisi dan norma sosial yang hidup pada keluarga atau komunitas asalnya. Â
Sederhananya, tergantung pada suku, agama, ras, dan golongannya.
Begitulah. Â Orang Toraja tak perlu tanah satu kali dua meter untuk kuburan. Â Karena jasad orang mati di Tana Toraja diletakkan di gua-gua batu. Â Atau, sekarang, di dalam "makam beton".
Orang Tionghoa tak selalu perlu tanah kubur. Â Karena sebagian memilih dikremasi, lalu abunya ditempatkan di rumah abu. Â Atau, kalau perlu tanah, sering lebih dari satu kali dua meter. Â Ada yang seukuran rumah dan makamnya dibangun mewah.
Di pemakaman umum, juga ada segregasi menurut agama. Â Kuburan Kristen sebelah sini, kuburan Islam sebelah sana. Â Itu pembagian bloknya jelas. Â Tak boleh ada yang menyeberang.
Tapi  tentu saja,  selalu bisa ditemukan pekuburan umum yang lintas suku, agama, ras, dan golongan. Itu bisa disebut pemakaman "Bhinneka Tunggal Ika". Â
Contohnya Taman Pemakaman Umum Untoroloyo di Solo. Â Makam-makam di sini campur aduk antar suku, agama,dan ras.
Nah, terkait "golongan", Â di Jakarta lazim ditemukan pekuburan "pribumi" atau "warga asli". Â Hanya warga asli yang boleh dimakamkan di situ. Â Pendatang tidak boleh, harus cari tempat lain.
Saya akan ungkapkan satu kasus saja yaitu kuburan Gang Sapi (pesudonim) di Jakarta Selatan.
***
Gang Sapi, seperti sudah pernah saya paparkan dalam satu seri artikel di Kompasiana, adalah kampung asli Betawi. Â Gang Sapi berada di antara Jalan Buncit Raya dan Jalan Bangka Raya, Jakarta Selatan.