Pilihan lain, jasad baru dikubur di atas jasad lama, khususnya untuk yang berkerabat dekat. Namanya makam bertingkat. Â Mengkuti pola rumah tingkat manusia hidup.
Pilihan-pilihan seperti itu lebih dimungkinkan, atay tepatnya dikhususkan, untuk "warga asli" yang lazimnya masih berkerabat.
***
Sepintas, judul artikel ini, juga paparan ringkas tentang pekuburan Gang Sapi di atas, mengesankan diskriminasi warga asli ("pribumi") terhadap pendatang. Seolah-olah warga Betawi asli Gang Sapi menolak pendatang.
Sejatinya tidak harus dimengerti seperti itu. Agar tak salah paham, saya akan coba berikan penjelasan sosiologisnya. Â
Begini. Â Pertama, pekuburan khusus kampung itu adalah gejala umum. Â Bukan eksklusif kampung Betawi. Lazim setiap kampung atau desa di Nusantara punya pekuburan sendiri. Â
Asal-usul tanah kuburan itu bisa merupakan tanah adat atau tanah desa yang disisihkan untuk keperluan itu. Â Bisa pula merupakan tanah wakaf dari seorang "raja tanah" setempat.
Aturan yang berlaku, seturut adat berkampung atau berdesa, pekuburan semacam itu memang dikhususkan bagi warga asli kampung atau desa. Â Warga pendatang, yang tak punya ikatan genealogis dengan warga kampung, lazimnya tak punya hak untuk dimakamkan di situ.
Lain ceritanya jika pendatang itu telah diterima sebagai bagian dari warga asli. Lazimnya karena ikatan perkawinan. Pendatang semacam itu  punya hak untuk dimakamkan di pekuburan "warga asli".
Tapi aturan tidaklah sekaku itu. Â Melalui kesepakatan tokoh-tokoh kampung, Â bisa saja "pendatang murni" dimakamkan di pekuburan warga asli. Â Itu nsmanya solidaritas sosial.
Hal seperti itu sempat terjadi di pekuburan Gang Sapi. Sebelum kemudian kuburan itu menjadi terlalu padat. Â