Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Saya Tidak Menulis tentang Covid-19?

25 Maret 2020   10:12 Diperbarui: 25 Maret 2020   12:53 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang, ikhwal Corona Virus Desease (Covid)-19, menjadi berita atau informasi paling panas dan laris. Kalau mau mendapat pembaca banyak di media sosial, tulislah tentang Covid-19.  Kalau perlu pakai judul yang bernada provokasi, terror atau horor sekalian.

Banyak orang tergoda.  Lalu menulis sesuatu yang akhirnya jatuh menjadi hoaks. Belasan orang pelaku hoaks Covid-19 di Indonesia kini sedang diburu pihak Kepolisian RI.

Sekalipun begitu panas dan larisnya, saya sudah memutuskan untuk tidak menulis tentang Covid-19. Tulisan ini sendiri bukan tentang Covid-19.  Tapi tentang pilihan saya sebagai penulis.

Alasan saya sederhana saja.  Pertama, saya tidak punya kompetensi ilmiah atau profesi sama sekali tentang Covid-19.  Maka saya tidak punya legitimasi apapun untuk menulis tentang Covid-19.

Sebenarnya bisa saja saya menulis dengan mengutip sana sini.  Tapi karena dasarnya tak punya kompetensi, saya tidak bisa menilai secara obyektif, apakah tulisan-tulisan atau berita-berita tentang Covid-19 itu bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya?

Kedua, saya tidak mau memperlebat "hutan informasi Covid-19" sehingga khalayak akan semakin tersesat di dalamnya. Karena pembaca akan kebingungan di tengah "hutan informasi Covid-19" yang kini menutupi ladang informasi nasional dan bahkan internasional.

Bukannya saya tidak bisa menulis Covid-19 dari sudut pandang Sosiologi.  Sangat bisa. Bahkan saya sudah mengidentifikasi isu seksi yang sangat mendasar.   Bagaimana Covid-19 telah membuka lebar fakta pemanggungan senjang sosial yang sungguh tajam dan solidaritas sosial yang miskin dalam masyarakat kita.

Tapi, misalkan saya menulisnya, lantas apa manfaatnya dalam jangka pendek untuk mengatasi atau mengendalikan pandemi Covid-19.   Bisa-bisa tulisan itu malah membuat marah dan tersinggung lapisan atau golongan sosial tertentu.

Saya berikan contoh. Baru-baru ini ada gubernur dan juga ahli matematika yang menguar informasi tentang pertumbuhan jumlah korban Covid-19 yang bersifat eksponensial. Tentu itu dimaksudkan sebagai peringatan agar pemerintah, pengusaha, dan komunitas super-serius menangani masalah pandemic Covid-19.  

Informasi itu mungkin baik.  Tapi apa perlunya mengumbar fakta itu ke ruang publik. Biar didengar pemerintah? Oh, pemerintah pusat sudah tahu itu. Maka aneh jika seorang gubernur merasa perlu mengungkapnya ke ruang publik.

Informasi semacam itu, kendati benar secara ilmiah, bukanlah informasi yang pantas disebar ke ruang publik. Sebab inheren padanya ada nilai terror dan horor.

Menurut saya sudah tepat jika pemerintah pusat menetapkan seorang juru bicara nasional Covid-19. Semua informasi yang disampaikannya sudah pasti valid, dapat dipertanggungjawabkan.    

Dengan hanya merujuk pada informasi juru bicara itu, dan informasi pemerintah daerah yang telah dikonfirmasi ke pusat, maka saya bisa menghindarkan diri dari kesimpang-siuran informasi terkait Covid-19.   Hal ini penting sebagai dasar untuk mengambil keputusan yang tepat untuk "menjaga diri" dari serangan Covid-19.

Mungkin ada yang tidak setuju. Sebab berpendapat perlu informasi pembanding, dengan asumsi informasi pemerintah belum tentu benar, atau belum tentu jujur.

Jika itu alasannya, lalu apa dasarnya untuk mengatakan bahwa informasi dari luar pemerintah lebih benar dan lebih jujur?  
Informasi tentang serangan Covid-19 di China, Italia, Iran, Prancis, Jerman, dan Amerika tentu saja perlu sebagai pengetahuan.  Tapi sejauh mana kita bisa mempercaya semua informasi itu?

Lagi pula, Indonesia berbeda dengan negara-negara itu dalam hal struktur demografis, sosial-ekonomi, dan geografis. Jadi, meski ada kemiripan, pola serangan Covid-19 di Indonesia mestinya berbeda dibanding di berbagai negara itu.

Maka, inilah alasan saya yang ketiga untuk tidak menulis Covid-19,  yaitu menghindari polusi atau kontaminasi terhadap informasi pemerintah. Sangat berbahaya jika informasi juru bicara Covid-19 yang sampai kepada khalayak sudah terpolusi atau terkontaminasi oleh informasi yang disebar oleh orang-orang yang tak kompeten seperti saya.

Saya tak bermaksud mengeritik rekan-rekan yang menulis tentang Covid-19.  Silahkan saja jika merasa punya kompetensi dan bisa mempertang-gungjawabkan kebenaran dan dampak informasi yang disampaikan ke ruang publik.

Karena itu saya juga tak hendak berkata: Stop menulis Covid-19!  Jika ada penulis yang mau berhenti menulis Covid-19, biarlah itu keputusan yang terbit dari nuraninya.

Saya sendiri sudah memutuskan untuk tidak menulis tentang Covid-19. Juga tidak perduli pada informasi Covid-19 yang disebarkan orang-orang yang tak punya kompetensi. Keputusan ini membuat saya lebih nyaman "menjaga kesehatan keluarga".

Demikian catatn saya, Felix Tani, petani mardijker, berusaha mengisolasi diri sambil berdoa untuk keselamatan keluarga, kota, dan dunia.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun