Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kompasiana, Tetap Setia dalam Perkara Kecil

18 Maret 2020   14:14 Diperbarui: 19 Maret 2020   11:30 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bingkisan kecil dari Kompasiana (Dokpri)

Saya harus menulis tentang sesuatu yang telah aku lupakan. Lantaran sebuah perkara kecil yang diingatkan lagi.   Semacam memori kecil yang dibangkitkan dari kubur.

Admin Kompasianalah pembangkit memori itu. Rabu, 11 Maret 2020 sebuah pesan WA dari Kompasiana mendadak muncul di "telegam" (telepon genggam) saya.    

Bukan rahasia.  Jadi saya kutipkan saja pesannya: "Ingin menginformasikan bahwa sebelumnya kami sudah mengirimkan email dan pemberitahuan bahwa Kompasiana ingin mengirimkan bingkisan kecil sebagai apresiasi kepada Pak Felix sebagai nominee Kompasiana Awards 2019."

Lalu Admin Kompasiana minta alamat untuk tujuan pengiriman bingkisan kecil itu.

Sambil merasa takjub, saya langsung membalas kirim alamat rumah sesuai permintaan.  Itu personal sehingga tak pantas dibuka di sini.

Mengapa saya takjub?   Karena, pertama, saya sebenarnya sudah melupakan Kompasiana Award 2019.  Sebab kendati menjadi Nominee Best Opinion,  saya tidak dapat hadir waktu itu. 

Juga ada sedikit rasa pedih karena dipecundangi seorang pendatang baru yang sungguh cemerlang dan produktif.  

Tapi sudahlah.  Jangan diingat-ingat lagi. Pemenang Best Opinion Kompasianival 2019 sudah tepat seratus persen.

Kedua, saya malah tidak ingat pernah ada email dari Kompasiana memberitahukan rencana pengiriman bingkisan itu.  

Saya juga tidak hendak memeriksanya.   Sebab berbahagialah mereka yang percaya namun tidak melihat.  

Ketiga, sejujurnya saya nggak ngeh sama sekali soal bingkisan kecil untuk Nominee Kompasiana Awards 2019 itu.  

Saya ngertinya dapat hadiah uang kalau memenangi Kompasiana Awards.  Sudah jelas uang itu masuk ke dompet Kompasianer pendatang baru tadi.  Apa mau dikata.

Jadi, ketika saya menerima pesan WA soal bingkisan itu, saya sungguh berterimakasih karena telah diingatkan tentang suatu perkara kecil.  

Ya, bingkisan untuk nominee itu memang perkara kecil.  Dapat tidak tambah kaya, tak dapat tidak tambah miskin.

Tapi, saya percaya, barang siapa tidak setia pada perkara kecil maka dia tidak akan setia pada perkara besar.   

Maka, misalnya, jangan pernah berharap seorang kepala daerah mampu me-lockdown daerahnya untuk mencegah pandemi Covid-19, sedangkan menjamin ketersediaan masker harga murah di pasaran saja dia tidak mampu. 

Juga jangan berharap seorang kepala daerah mampu mengendalikan social distancing, tapi bikin kebijakan yang menyebabkan antrian penumpang transportasi umum. 

Katanya itu "efek kejut".  Ya, terkejut sendiri, sebab dia ternyata tak secerdas yang dipanggungkan.

Maaf, itu tadi ngelantur.  Kembali ke pokok perkara bingkisan.

Mengapa saya menilai perlu menuliskan ikhwal perkara kecil ini?

Alasannya simpel.  Saya ingin mengapresiasi Admin Kompasiana.  Sebab Kompasiana ternyata setia dalam perkara kecil.  Sekecil bingkisan untuk nominee yang sudah terlupakan itu.    

Karena itu saya percaya Kompasiana juga akan setia pada perkara-perkara besar.  Sebesar perkara K-Rewards bulanan, misalnya.   Walaupun saya masih selalu mendapat jumlah yang kecil.  Pasti karena saya kurang ikhtiar.

Jumat, 13 Maret 2020, seorang petugas ekspedisi mampir di depan rumah kami. 

Tebakanku tepat.  Bingkisan kecil dari Kompasiana datang.  Admin Kompasiana cepat juga kerjanya.  Salut!

Karena saya dan keluarga sedang mengurung diri di rumah, mengikuti saran Pak Jokowi untuk mencegah pandemic Covid-19 dengan cara tidak berkeliaran ke mana-mana, maka anak saya yang membuka bingkisan itu.  

Isinya selembar kaus oblong biru muda (atau abu-abu?) bertuliskan "kompasiana", dompet kartu nama bercap "kompasianival", dan "goodie bag" bertuliskan "kompasiana".

Hebat! Lha, apa hebatnya?   Oh, tentu saja hebat.  Sebab saya menjadi seorang dari sejumlah kecil Kompasianer yang memiliki barang-barang itu sebagai "penghargaan" dari Kompasiana.  

Kompasianer lain bisa saja membelinya.   Tapi mereka mendapatkannya dengan cara "menghargai" Kompasiana.  

Maksud saya, mereka harus membelinya. Itupun kalau boleh dibeli dan masih ada persediaan.

Sambil mencoba kaus "kompasiana" itu di badan, sekalian pamer pada isteri dan anak, saya teringat akan teori pemberian Marcel Mauss.  Katanya, pemberian itu adalah representasi dari pemberi yang sewajarnya diimbali lebih besar oleh penerima.

Implikasinya berat.  Namanya saja penghargaan Kompasiana untuk saya sebagai nominee Kompasiana Awards 2019.  Tapi implikasinya, saya harus memberi imbalan yang lebih besar untuk Kompasiana.

Bentuk imbalan itu sudah pasti artikel.   Artinya, saya wajib menulis artikel-artikel yang lebih bermutu lagi untuk Kompasiana. Bermutu seturut kapasitas saya, tentu saja.

Itulah representasi dari saya untuk Kompasiana.  Kalau tidak begitu maka nilai (imbalan) saya lebih rendah dari nilai (pemberian) Kompasiana.  Nah, ini soal harga diri.

Celakalah mereka yang telah menerima "satu talenta" dari "tuan"-nya tapi tak mampu "mengembalikannya" menjadi "dua talenta".   Itu namanya menyia-nyiakan karunia. Dosa, dan itu ada upahnya, bukan?

Kira-kira hal itu sama saja dengan kita telah setia memberi pajak Rp 1 juta kepada pemerintah.  Tapi pemerintah bukannya "mengembalikan" pajak kepada kita dalam wujud layanan senilai Rp 2 juta.  Hanya mengembalikan sebesar Rp 0.5 juta karena Rp 0.5 juta sudah dimasukkan kantong sendiri.

Itu namanya pemerintah kebanyakan pakai pelicin sehingga malah slip, muter kencang, tapi mandeg di tempat.  Atau, kalau sial, ya, tergelincir masuk bui.

Wah, maaf, ngelantur lagi.  Kembali ke pokok perkara, bingkisan kecil untuk nominee Kompasiana Awards 2019.

Sebenarnya, jika merujuk Hans Antlov, pemerisn bingkisan kecil oleh Kompasiana itu bisa ditafsir sebagai "perintah halus" (gentle hints).  Peintah halus Admin agar saya tetap menulis dan meningkatkan mutu artikel.

Ini memang moda kuasa yang nJawani banget. Sebenarnya otoriter, tapi caranya sungguh halus, sehingga terasa tanpa paksa. Mungkin itu hasil sosialisasi bos KGG, Pak Jacob Oetama?

Baiklah, saya tak hendak berlarat-larat.  Intinya, saya mau bilang, baiklah kalau Admin Kompasiana dan Kompasianer saling setia dalam perkara-perkara kecil. Dengan begitu kita juga boleh berharap akan setia dalam perkara-perkara besar.

Apa perkara besar itu, bisalah disepakati bersama.  Misalnya komitmen bersama untuk memproduksi artikel positif di Kompasiana. Bukankah itu perkara besar?

Begitu saja dari saya, Felix Tani, petani mardijker, sejujurnya masih belajar setia bahkan pada perkara-perkara kecil.  Jangan kata perkara besar.(*)

*Artikel ini ditulis sebagai wujud terimakasih dan penghargaan saya kepada Admin Kompasiana, para millenial cerdas yang tabah melayani para kolonial lelet seperti saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun