Dengan begitu, banjir Jakarta adalah kesalahan pemerintah pusat.  Atau lebih spesifik  "salah Jokowi".
Padahal, pasca-banjir Jakarta 1 Januari 2020, sudah ada kesepahaman antara Pemprov Jakarta dan pemerintah pusat, bahwa normalisasi atau naturalisasi sungai (sama saja) akan dilaksanakan. Â Pemprov Jakarta membebaskan lahan, pemerintah pusat menjalankan proyek konstruksi fisik.
Apa yang dilakukan Anies adalah proyek beautifikasi di beberapa titik Banjir Kanal Barat. Dia membangun taman tepi sungai di beberapa titik dan itu disebutnya "naturalisasi sungai". Â
Demi  ikan sapu-sapu se-Jakarta Raya, itu bukan naturalisasi.  Jelas pula itu bukan mitigasi banjir.
Tapi jika narasi "Banjir Jakarta Salah Jokowi" berhasil dibangun, maka banjir Jakarta tidak akan menjadi kelemahan Anies untuk maju ke Pilpres 2024. Â
Bahkan dia bisa bilang nanti bahwa dia sudah menjalankan naturalisasi sungai Jakarta. Sementara pemerintah pusat atau Jokowi tidak melaksanakan normalisasi.
Kedua, Anies berusaha membangun narasi bahwa dia berada di pihak korban banjir Jakarta yang disebabkan kelambanan pemerintah pusat memitigasi  banjir. Â
Jika narasi ini berhasil dihidupkan maka, dalam kasus banjir Jakarta, Anies tampil sebagai "pahlawan" bagi warga korban banjir.
Perhatikan, sejak peristiwa banjir 1 Januari 2020, Anies selalu mengedepankan penanganan korban banjir. Â Setiap kali ditanya musabab dan solusi banjir, selalu dijawab "nanti dievaluasi, sekarang prioritas penanganan korban banjir".
Maka Anies lebih memilih berkeliling menemui para korban banjir ketimbang mengungkap penyebab banjir dan menjalankan solusinya. Justeru pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian PUPR dan bahkan Presiden Jokowi, yang turun ke lapangan untuk mengatasi penyebab banjir.
Ikhwal terjunnya Kementerian PUPR itu ke lapangan, di luar logika, malah menguatkan narasi bahwa mitigasi banjir Jakarta itu urusan pemerintah pusat. Pemprov Jakarta hanya mengurusi dampak banjir. Â Maka Anies tambah moncer sebagai pahlawan di kala banjir.