Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kasus Elios dan Malau, Etika "Kapitalisme Batak" dan Wisata Danau Toba

27 Januari 2020   11:31 Diperbarui: 28 Januari 2020   11:58 5338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di balik keindahan Danau Toba terdapat ketaksiapan kultur wisata Batak (Foto: travelingyuk.com)

Benarkah masalah utama wisata Danau Toba itu ketaksiapan infrastruktur? Ini pertanyaan yang mengganggu di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur transportasi, komunikasi, dan hospitalitas untuk menjadikan Danau Toba destinasi wisata kelas dunia.

Respons optimistik orang Batak di lingkar Danau Toba, juga pemerintah daerah terhadap proyek-proyek infrastruktur itu seolah mengatakan itulah yang diperlukan untuk memajukan wisata Danau Toba.

Nyaris seluruh elemen masyarakat dan pemerintah mendukung. Walau tentu ada kasus-kasus resistensi. Misalnya penolakan warga Bius Paropat Sigapiton pada The Kaldera Toba yang dianggap mengokupasi tanah adat mereka.

Tapi kebenaran sejati tidak ditemukan dari pernyataan melainkan dari tindakan. Tesis ini berlaku juga untuk kasus dinamika pembangunan wisata Danau Toba. 

Pandangan umum orang Batak di sana mengatakan masalah utama adalah ketaksiapaan infrastruktur. Tapi tindakan sosial warga mengindikasikan masalah utamanya adalah ketaksiapan kultur Batak memasuki era ekonomi wisata modern.

Ada sejumlah kasus empirik di ragam bidang yang mengindikasikan ketaksiapan budaya itu. Tapi saya cukup angkat dua kasus sengketa "tagihan melambung" yang baru-baru ini viral. 

Pertama di rumah makan Elios di Tuktuk, Samosir dan, kedua, rumah makan Napinadar Malau di Sidikalang, Dairi.

Kasus Elios dan Malau
Kasus Elios. Kasus sengketa harga di rumah makan Elios, Tuktuk Samosir diungkap oleh akun facebook Marihot Simbolon tanggal 29 Desember 2019.

Berarti kejadiannya sekitar minggu terakhir bulan Desember 2019. Bertepatan dengan musim liburan Natal 2019 dan Tahun Baru 2020.

Konsumen protes keras karena disuguhi bon tagihan senilai Rp 1.6 juta (Rp 1,613,000). Menurut konsumen harga itu terlalu tinggi, tidak masuk akal. Sebaliknya pemilik rumah makan bersikeras harga itu sudah pas, masuk akal.

Pertengkaran tak terhindarkan. Konsumen dan pemilik rumah makan sama-sama bicara dengan nada tinggi.

Berdasar bon tagihan, pesanan konsumen rumah makan Elios itu beragam jenisnya dan porsinya cukup besar. Antara lain dipesan 5 ekor ikan bakar ukuran 1 kg/ekor (Rp 425,000 @ Rp 85,000), babi panggang 13 porsi (Rp 390,000 @ Rp 30,000), susu kerbau 5 porsi (Rp 150,000 @ Rp 30,000), bir lemon 5 botol (can) (Rp 185,000 @ Rp 37,000), dan air mineral 4 botol (Rp 40,000 @ Rp 10,000).

Konsumen terutama protes harga ikan bakar dan air mineral yang dinilai terlalu mahal. Pemilik rumah makan bersikeras bahwa harga Rp 85,000 per ekor ikan bakar ukuran 1 kg sudah wajar.

Sedangkan harga air mineral diakui salah input, harusnya Rp 5,000 per botol. Katanya kasir capek, maka tak sengaja Rp 10,000.

Akhir cerita, konsumen terpaksa membayar tagihan Rp 1.6 juta. Lalu pergi dengan perut kenyang, tapi hati marah dan kecewa karena merasa ditipu pemilik rumah makan Elios. Kasusnya lalu diviralkan lewat media sosial.

Kasus Malau. Kasus sengketa harga di rumah makan Napinadar Malau, Sidikalang Dairi terjadi pada 2 Januari 2020. Kasus itu diunggah ke media sosial dan langsung viral dalam dua minggu pertama Januari 2020.

Pangkal sengketa adalah harga per ekor ayam kampung "napinadar" (resep masakan khas Batak) yaitu Rp 350,000. Konsumen memesan dua ekor ayam. Lalu mereka dikenai tagihan total Rp 800,000.

Rinciannya Rp 700,000 untuk dua ekor ayam (termasuk nasi dan sup) dan Rp 100,000 untuk nasi tambahan dan lainnya.

Konsumen menilai harga ayam Rp 350,000 per ekor itu tak ada logikanya. Sebab di rumah makan lain tidak semahal itu dan rumah makan Malau juga bukan hotel berbintang.

Tetapi pemilik rumah makan berkeras bahwa harga itu sudah logis. Alasannya harga ayam kampung mahal (Rp 150,000 per ekor), karena sedang masa Natal dan Tahun Baru.

Selain itu permintaan ayam kampung tinggi karena warga takut makan daging babi, mengingat kolera babi sedang merebak.

Setelah bersitegang dengan pemilik rumah makan, kosumen akhirnya pergi sambil meneriakkan pesan waspada kepada konsumen lain agar tidak tertipu.

Di balik keindahan Danau Toba terdapat ketaksiapan kultur wisata Batak (Foto: travelingyuk.com)
Di balik keindahan Danau Toba terdapat ketaksiapan kultur wisata Batak (Foto: travelingyuk.com)
Ketakwajaran Harga Makanan
Wajarkah tagihan Rp 1.6 juta pada kasus Elios dan Rp 800,000 pada kasus Malau? Dua pendekatan sederhana dapat digunakan secara simultan untuk menjawabnya.

Pertama, perbandingan harga rata-rata per porsi makanan dengan rumah makan khas Batak di Jakarta. Logikanya, harga di Jakarta harusnya lebih mahal karena daging ayam, ikan, daging babi, dan bumbu-bumbu khas Batak secara umum lebih mahal di Jakarta ketimbang di Tanah Batak.

Pada kasus Elios, jumlah konsumen diperkirakan 15 orang, mengingat pesanan nasi 25 porsi (termasuk nasi tambah). Jika benar 15 orang maka tagihan biaya makan per kepala adalah Rp 107,000. Atau sekitar Rp 95,000 per orang jika tagihan bir lemon dikeluarkan.

Sedangkan pada kasus Malau, jumlah konsumen 10 orang, sehingga biaya makan per kepala Rp 80,000. Ini harga untuk menu nasi (temasuk nadi tambah), ayam, dan sop.

Sekarang bandingkan dengan harga satu porsi nasi-ayam, nasi-babi panggang atau nasi-ikan bakar (tombur) di rumah makan Batak di Jakarta. 

Kisarannya adalah Rp 40,000-60,000 per porsi. Sudah termasuk sup dan sayur pahit atau daun ubi tumbuk. Harga seporsi ayam atau daging babi umumnya adalah Rp 25,000-35,000 per porsi.

Kesimpulannya, harga makanan di rumah makan Elios dan Malau jauh lebih mahal dibanding di Jakarta. Walaupun konteksnya libur Natal dan Tahun Baru, harga makanan itu tetap terbilang mahal. 

Sebab jika benar harga per porsi makanan di rumah makan Malau pada hari biasa Rp 40,000, maka kenaikan harga di atas 50 persen saat Natal dan Tahun Baru sudah terbilang "keterlaluan".

Kedua, testimoni konsumen. Menanggapi kasus Elios dan Malau, di media sosial muncul sejumlah konsumen yang menyampaikan testimoni bahwa mereka juga pernah "digebuk" tagihan tinggi, tak wajar, di rumah makan itu. 

Artinya kejadian "tagihan melambung" di dua rumah makan itu sudah kerap terjadi. Hanya saja, kebanyakan konsumen agaknya memilih mendiamkannya, untuk menghindari cekcok.

Salah satu testimoni yang menarik diberikan MS. Dia dan keluarganya pernah makan 2 ekor ayam di rumah makan Malau dan dikenai tagihan Rp 1, 2 juta. 

Pada kesempatan lain makan di situ, MS dan temannya menanyakan harga sebelum pesan dan diberitahu Rp 35,000 per porsi. Lalu mereka pesan 2 porsi tapi ternyata tagihannya Rp 160,000, bukan Rp 70,000. 

Harga bengkak karena di piring ditambahkan potongan-potongan kecil ayam yang ikut dihitung dalam harga.

Dua pendekatan simultan di atas mengindikasikan bahwa harga makan di rumah makan Elios dan Malau memang tidak wajar. Setidaknya terindikasi harga makanan di dua rumah makan khas Batak itu berada di atas rata-rata harga makanan sejenis di rumah makan lain di sana.

Etika "Kapitalisme Batak"
Dilihat dari segi tingkatan norma sosial, rumah makan memberi harga terlalu tinggi pada masakan sendiri tidaklah tergolong pelanggaran tatalaku apalagi hukum. 

Hal semacam itu lebih merupakan penyimpangan dari kebiasaan atau kewajaran umum. Sanksinya paling tinggi sebatas teguran atau protes, atau menghindar untuk berurusan.

Itulah yang terjadi pada kasus Elios dan Malau. Ada konsumen yang protes keras dan menyebar-luaskan masalah lewat media sosial. Lebih banyak yang jengkel lalu menghindari dua rumah makan itu pada kesempatan berikutnya.

Tindakan sosial melambungkan harga makanan bukan hanya terjadi di rumah makan Elios dan Malau. Banyak rumah makan lain yang berpolah serupa di enam kabupaten lingkar Danau Toba (Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Simalungun, Tanah Karo, Dairi).

Pertanyaannya, mengapa para pemilik rumah makan di lingkar cenderung melambungkan harga makanan untuk "konsumen pejalan"? Kategori konsumen pejalan adalah perantau yang pulang kampung, wisatawan domestik, dan wisatawan mancanegara.

Motif meraih keuntungan sebesar-besarnya dari kosumen parsahalian, hanya datang dan makan sekali saja, lazim disampaikan sebagai penjelasan. 

Tapi itu bukan penjelasan yang memadai. Sebab di rumah makan khas Batak di Jakarta misalnya, harga makanan relatif sama di semua rumah makan setara untuk semua kategori konsumen. 

Di lingkar Danau Toba sendiri juga selalu bisa ditemukan rumah makan khas Batak dengan harga-harga wajar.

Penjelasan yang lebih kuat mesti dicari pada kultur atau budaya Batak itu sendiri. Untuk ini perlu sedikit memahami struktur sosial asli Batak dan nilai budaya yang menjiwainya.

Struktur masyarakat Batak sejatinya bersifat tertutup. Hanya terdiri dari tiga kelompok sosial genealogis yang disebut struktur Dalihan Na Tolu (Tiga Batu Tungku) yaitu hulahula (pemberi isteri) sekaligus marga raja atau raja huta (raja kampung), dongan tubu (kerabat sedarah hulahula) dan boru (marga lain yang mengambil isteri dari hulahula). 

Para pihak di luar tiga kelompok sosial itu disebut sileban, orang asing, pendatang yang tak punya hubungan kekerabatan.

Di antara hulahula, dongan tubu dan boru berlaku nilai budaya pengatur keselarasan relasi sosial Dalihan Na Tolu yaitu "Somba marhula, manat mardongan tubu, elek marboru". Artinya: Memuliakan hulahula, menghargai dongan tubu, mengasihi boru.

Berpedoman pada nilai budaya Dalihan Na Tolu itu maka relasi antara hulahula, dongan tubu dan boru mengharamkan eksploitasi. Hulahula tidak boleh memeras tenaga dan dana boru karena ada kontrol nilai "mengasihi boru". 

Sebaliknya juga boru tidak elok meminta berlebihan pada hulahula karena ada kontrol nilai somba marhulahula.

Begitulah, dalam aktivitas jual-beli di pasar Tanah Batak lazim terjadi saling tanya marga antara penjual dan pembeli. Istilahnya martarombo, menelusur relasi kekerabatan, sehingga diketahui apakah relasinya hulahula - boru atau sesama dongan tubu. 

Kesadaran atas relasi itu kemudian menjadi dasar untuk tiba pada harga kesepakatan yang memuaskan kedua pihak, penjual dan pembeli.

Relasi dan nilai Dalihan Na Tolu itu tidak berlaku jika orang Batak berurusan dengan sileban, orang asing. Dulu sileban adalah orang asing, pejalan atau pendatang, yang bukan orang Batak. Jadi pasti bukan hulahula, dongan tubu, ataupun boru. 

Karena itu dalam transaksi dagang, sah-sah saja mengenakan harga tinggi pada kelompok sileban. Itu yang disebut parsahalian, hanya sekali kejadian.

Belakangan hari, kategori sileban secara sosiologis telah diperluas cakupannya. Tidak hanya menunjuk pada orang non-Batak, tapi juga sesama orang Batak tapi bukan kerabat dekat atau kerabat luas (extended family). 

Orang Batak kategori ini adalah orang kampung jauh atau orang kota yang "tidak dikenal", sehingga diperlakukan sebagai sileban.

Hal terakhir ini dapat menjelaskan tindakan pemilik rumah makan Elios dan Malau untuk melambungkan harga, sekalipun konsumennya sesama orang Batak. 

Bahkan pada kasus Elios, pemilik rumah makan dan konsumen sama-sama marga Sidabutar, tapi sudah saling asing satu sama lain.

Begitulah etika "Kapitalisme Batak". Intinya, dalam berbisnis, orang Batak cenderung kooperatif pada orang sekerabat atau "orang dalam" tapi cenderung eksploitatif pada orang asing atau "orang luar".

Etika Kapitalisme Batak itulah penjelasan mengapa pemilik rumah makan di lingkar Danau Toba cenderung melambungkan harga, sebab konsumen dianggap sebagai sileban, orang asing atau orang luar.

Wisatawan itu Hulahula
Etika "Kapitalisme Batak" yang menoleransi eksploitasi terhadap sileban atau orang asing adalah kabar buruk untuk upaya pengembangan Danau Toba sebagai destinasi wisata kelas dunia. 

Pasalnya, dalam konteks struktur dan kultur Dalihan Na Tolu orang Batak, wisatawan (domestik dan mancanegara) adalah orang asing yang sah-sah saja dieksplotasi demi keuntungan usaha.

Persoalannya di sini wisatawan bukanlah gejala parsahalian. Wisatawan adalah kategori sosial yang bersifat kontinu, datang silih berganti, dan saling terhubung dan berbagi kesan dan pesan satu sama lain, sekarang terutama lewat media sosial.

Kesan buruk akan menghambat kedatangan wisatawan berikutnya, sebaliknya kesan baik akan menarik wisatawan berikutnya. Kasus Elios dan Malau adalah kesan buruk yang dapat menghambat kedatangan wisatawan ke lingkar Danau Toba. 

Wisatawan mengharapkan pengalaman indah, bukan yang buruk, semisal ditipu atau diperas rumah makan. 

Terlebih ada kecenderungan menarik kesimpulan secara pars pro toto, satu dua kasus buruk untuk menyimpulkan umumnya buruk. Sehingga berkembang kesan dan pesan bahwa rumah makan khas Batak di lingkar Danau Toba suka melambungkan harga.

Kondisi budaya semacam itu perlu menjadi prioritas dampingan bagi pemerintah dan pemangku adat setempat. Para bupati tidak cukup hanya datang ke rumah makan bermasalah, seperti Elios dan Malau, lalu setelahnya bilang tak ada masalah, cuma salah paham. 

Itu pendekatan solusi yang teramat dangkal, gaya "pemadam api". Tidak didasarkan pada suatu kerangka dan visi budaya wisata dunia "Danau Toba".

Saya mengusulkan pendekatan budaya lokal yang bersifat mendasar. Dalam kerangka Dalihan Na Tolu, wisatawan jangan diposisikan sebagai sileban atau orang asing/luar. Tapi diposisikan sebagai hulahula yang harus dihormati dan dimuliakan.

Sementara orang Batak sendiri, sebagai "tuan rumah wisata", memosisikan diri sebagai boru yang menjamu atau melayani hulahula, dengan cara menyajikan "yang terbaik".

Wisatawan tepat diposisikan sebagai hulahula karena mereka adalah sumber berkah, sebagaimana nilai yang disematkan pada status hulahula.

Logikanya semakin banyak dan semakin lama wisatawan berkunjung ke lingkar Danau Toba, semakin besar pula berkah (peluang usaha/kerja dan pendapatan) bagi orang Batak. Itu hanya mungkin terjadi jika wisatawan dilayani sebagai hulahula, sebagai "raja" sumber kelimpahan berkah.

Bersamaan dengan pemosisian wisatawan sebagai hulahula, pemerintah setempat perlu bergegas untuk menerapkan standarisasi jasa wisata lingkar Danau Toba.

Harus ada keseragaman standar mutu dan harga jasa wisata. Mulai dari jasa rumah makan, restoran, hotel, transportasi, parkir, suovenir, atraksi budaya, tiket spot wisata, dan lain-lain. Ini akan membuat wisatawan nyaman, karena mereka tahu pasti tidak akan ditipu atau diperas.

Saya kira, sebagus apapun infrastruktur wisata di lingkar Danau Toba, tak akan banyak gunanya untuk mengangkat Danau Toba sebagai destinasi wisata kelas dunia, selama kultur Batak tidak disiapkan untuk adaptif dan responsif, tetapi juga korektif, terhadap tuntutan industri wisata modern. 

Sebagai penutup saya tiba pada sebuah kesimpulan bahwa kendala utama perkembangan wisata di lingkar Danau Toba bukanlah ketaksiapan infrastruktur melainkan ketaksiapan kultur Batak pada tuntutan industri wisata modern.

Demikian sekadar catatan dari saya, Felix Tani, petani mardijker, belum pernah berwisata ke Danau Toba, tersebab asli lahir di sana. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun