Jika saya ditanya untuk siapa menulis, maka jawabannya untuk khalayak. Â
Mengapa untuk khalayak? Karena saya adalah penulis anarkis yang menulis untuk pembaca anarkis. Â
Khalayak menurut saya adalah kategori sosial anarkis. Saya tidak pernah tahu siapa saja di dalamnya, bagaimana karakternya, apa minatnya, apa maunya, apa kompetensinya, bagaimana gaya hidupnya, dan sebagainya.
Secara khusus saya juga tidak tahu bagaimana perilaku literasinya. Yang saya tahu, khalayak anarkis itu merdeka untuk membaca,menafsir, dan merespon tulisan apapun oleh siapapun. Seturut kehendak dan caranya sendiri.
Karena itu menulis untuk khalayak anarkis bagi saya serupa aksi menjajah kemerdekaannya. Amunisinya adalah artikel anarkis yang ditembakkan secara anarkis ke tengah khalayak yang juga anarkis.
Mengapa harus artikel anarkis? Karena khalayak yang anarkis menurut hemat saya tidak tertarik pada artikel arus utama. Mereka membutuhkan sesuatu yang anarkis, sesuatu yang menyimpang, yang terkesan "gila". Tapi tetap logis, etis, dan sebisanya estetis.
Ketika artikel anarkis ditembakkan ke tengah khalayak, lalu mereka tertarik membaca dan menafsir. Â Pada saat itulah tanpa disadari kemerdekaannya telah terjajah. Â Sebab perhatiannya sudah terikat pada artikel. Lepas dari fakta mereka menafsir artikel semaunya.
Apakah setiap artikel anarkis pasti mengikat perhatian khalayak anarkis? Tentu saja tidak. Tidak setiap pernyataan cinta bersambut, bukan? Demikian pula tidak setiap artikel anarkis disambut khalayak. Selalu ada peluru yang meleset dari sasaran, bukan?
Tidakkah berlebihan mengibaratkan penulisan artikel anarkis semacam penjajahan kemerdekaan khalayak? Tentu berlebihan untuk penulis arus utama. Â Tapi biasa saja untuk penulis anarkis.
Saya sederhanakan saja rumusannya. Menulis artikel adalah inovasi literasi. Mempublikasinya adalah invasi literasi.
***
Lantas apa hubungannya dengan Resolusi 2020, "Berhenti menulis untuk Kompasiana?"