Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Binda, Tradisi Tahun Baru Batak yang Memudar

28 Desember 2019   19:15 Diperbarui: 29 Desember 2019   05:54 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap etnik nusantara, khususnya penganut Protestan dan Katolik, punya cara tersendiri menyambut Tahun Baru. Satu dan lain etnis saling beda cara, tergantung pada kultur atau sistem pemaknaan masing-masing.

Etnik Batak Toba punya cara yang unik yaitu binda atau marbinda. Secara harafiah, binda (Bah. Batak) berarti "menyembelih hewan secara gotongroyong, mulai dari proses pembelian sampai penyembelihan". Hewan yang disembelih lazimnya adalah babi atau kerbau, tergantung ukuran kelompok binda.

Binda adalah aktivitas budaya komunitas. Aslinya adalah komunitas huta, kampung asli Batak. Kemudian berkembang menjadi kegiatan komunitas marga. Bahkan lebih luas lagi, komunitas marga hulahula dohot boru/bere (kelompok marga pemberi mempelai perempuan dan marga penerima mempelai berempuan berikut keponakan).

Sebagai sebuah pranata sosial, binda memiliki fungsi sosial, manifes dan laten. Fungsi manifesnya sebagai bagian dari ritus kolektif orang Batak merayakan pergantian tahun, dari Tahun Lama ke Tahun Baru. Fungsi latennya untuk mengukuhkan kebersamaan dan solidaritas sosial dalam komunitas.

Suasana kegiatan binda pada satu komunitas Batak (Foto: jurnalasia.com)
Suasana kegiatan binda pada satu komunitas Batak (Foto: jurnalasia.com)
Sudah menjadi tradisi bagi orang Batak untuk merayakan pergantian tahun. Ini sebenarnya bukan tradisi asli. Tradisi ini tumbuh dan berkembang sejalan dengan masuknya agama Protestan dan Katolik ke Tanah Batak. Perayaan Tahun Baru adalah tradisi Barat yang diadopsi orang Batak.

Tapi orang Batak kemudian memasukkan unsur budaya lokal ke dalam perayaan itu. Itulah tradisi binda, gotongroyong pembelian dan penyembelihan hewan (ternak) berkaki empat. Pranata binda memungkinkan setiap keluarga dalam komunitas memperoleh daging dalam jumlah yang memadai, untuk bahan santapan dalam perayaan pergantian tahun.

Hari pertama Tahun Baru, tepatnya 1 Januari, adalah "hari makan daging" untuk orang Batak. Ini berlaku untuk semua kelas sosial. Kaya dan miskin haram hukumnya tidak makan daging. Pranata binda memastikan setiap keluarga dalam satu komunitas akan mendapatkan bagian daging untuk keperluan itu.

Makan bersama keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga luas, untuk perayaan Tahun Baru, lazimnya dilaksanakan tepat tanggal 1 Januari siang. Ini momen ritus kolektif untuk keluarga, mirip Lebaran. Momen para anak dan cucu dari perantauan berkumpul di rumah orangtua mereka di kampung halaman.

Acara makan daging bersama itu sebenarnya kelanjutan dari acara saling bermaafan dan doa bersama keluarga tepat pada malam pergantian tahun. Tepat setelah lonceng gereja berdentang pukul 00.00, mengumumkan pergantian tahun, kepala keluarga akan memimpin doa bersama dan doa syafat.

Acara kemudian dilanjutkan dengan permintaan maaf setiap anggota keluarga akan kekurangannya di tahun lalu dan janji perbaikan diri di tahun baru. Akhirnya ditutup dengan makan kue-kue Tahun Baru, lazimnya lampet (bugis) dan sasagun (sagon).

Makan siang bersama pada tanggal 1 Januari adalah pesta keluarga. Pesta untuk mengucap syukur atas karunia Tuhan tahun lalu. Sekaligus pesta menyambut Tahun Baru dengan harapan memperoleh karunia yang lebih besar dari Tuhan.

Orang Batak percaya bahwa rekonsiliasi akan berujung pada kebaikan. Pengakuan salah dan permohonan ampun kepada Tuhan dan anggota keluarga pada malam Tahun Baru diyakini akan membuka jalan rejeki dari Tuhan di Tahun Baru.

Begitulah paparan fungsi manifes binda. Tentang fungsi latennya, lebih mudah dipahami lewat sebuah sajian kasus. Untuk itu saya akan ceritakan kasus binda di Kampung Panatapan (pseudonym), Tanah Batak.

***
Kampung Panatapan adalah tempat kelahiran Poltak sekaligus tempatnya menghabiskan masa kanak-kanak. Karena itu cerita binda ini akan saya kisahkan menurut pengalaman Poltak pada masa kanak-kanak. Tepatnya pada paruh kedua 1960-an. Pengalaman binda dalam lima Tahun Baru akan saya ringkaskan dalam satu cerita saja.

Kampung ini terbilang kecil. Warganya hanya 20 rumahtangga. Karena itu hewan binda di kampung ini cukuplah seekor babi. Jika tiap rumah tangga secara rata-rata memerlukan 4 kg daging, maka cukup membeli babi berbobot bersih 80 kg. Atau bobot kotor sekitar 85 kg.

Sekitar awal Desember, kepala kampung sudah menunjuk seorang warga sebagai ketua panitia binda. Ketua binda ini kemuduan minta 2-3 orang warga lagi untuk membantu perencanaan dan pelaksanaan binda.

Perencanaan binda dimulai dari pendataan jumlah kebutuhan daging tiap rumahtangga. Total kebutuhan itu digunakan sebagai dasar untuk memperkirakan bobot ternak babi yang diperlukan.

Kalau bobotnya sudah ditentukan, panitia lalu memesan babi pada seorang toke babi (makelar ternak babi). Babi itu harus diantar ke Kampung Panatapan tanggal 31 Desember. Karena besoknya, 1 Januari, harus disembelih.

Harga babi dibayarkan secara urunan, sesuai dengan jumlah bagian yang dipesan. Satu bagian sama dengan 1 kg. Tapi ini perkiraan saja. Sebab bobot yang diketahui pasti adalah bobot babi hidup. Bobot bersih babi, setelah isi perut (makanan dan kotoran) dibuang, tidak pernah diketahui secara pasti. Karena tidak pernah ditimbang. Jadi daging babi, setelah disembelih dan dibakar, dibagi sama rata.

Itu prinsip keadilan, fungsi laten, setiap rumahtangga mendapat potongan bagian tubuh babi yang sama. Misalnya, peserta binda di Panatapan ada 20 rumahtangga maka bagian leher babi dipotong 20 potongan, 1 potong per rumahtangga. Demikian juga untuk bagian iga, bahu, dan pinggul atau belakang serta darah.

Kegiatan binda dilakukan secara terbuka pagi hari di lapangan kampung. Semua lelaki kepala keluarga terlibat. Mulai dari kerja penyembelihan babi yang tidak mudah sampai pembakaran, pemotongan, dan pembagian daging. Ini nilai laten pengukuhan nilai gotongroyong warga kampung.

Anak-anak juga dilibatkan. Untuk membersikan jeroan babi dan mengantar daging ke rumah-rumah. Paling diperebutkan adalah tugas membersihkan jeroan. Karena ada upahnya: kaki babi bakar. Karena kaku babi ada empat, maka tugas ini diberikan pada empat orang anak. Ini jenis tugas yang sangat digemari Poltak, antara lain.

Kegiatan binda sudah harus selesai sebelum tengah hari. Semua rumahtangga harus mendapatkan bagian daging untuk dimasak sebagai lauk makan siang bersama. Biasanya dibuat sangsang (cincang), tanggo-tanggo (gajeboh) dan sira-pege (panggang).

Cara mendapatkan dana untuk pembelian babi itu mencerminkan kemandirian komunitas. Di Panatapan pembayaran dilakukan secara natura, dalam bentuk gabah. Gabah dikumpulkan pada panitia. Lalu panitia menjual gabah ke toke boras (pedagang beras). Uang hasil penjualan itulah yang disetorkan ke toke babi.

Dengan cara itu orang miskin dimungkinkan membeli bagian daging, walau misalnya hanya 1 bagian. Karena setiap rumahtangga di Panatapan adalah petani yang punya simpanan gabah di rumahnya.

Secara khusus para kepala keluarga kurang mampu diberi peran lebih dalam kegiatan binda. Untuk itu mereka akan mendapatkan sedikit tambahan daging sebagai imbalan. Begitulah nilai keadilan dan solidaritas itu diamalkan.

***
Binda adalah pranata pemeliharaan nilai kebersamaan, gotongroyong, solidaritas, dan keadilan dalam masyarakat Batak. Atau, boleh dikatakan, binda adalah proses pemanggungan sekaligus pengukuhan kembali nilai-nilai itu.

Sangat disayangkan, memasuki melenium ketiga ini, pranata binda dalam rangka Tahun Baru sudah mulai memudar di Tanah Batak. Alasannya, lebih praktis membeli daging di pasar. Bisa pilih daging babi, sapi, atau kerbau. Binda dianggap merepotkan.

Alasan binda merepotkan, menurut saya lebih sebagai pembelaan pada nilai individualistik yang mulai meraja dalam masyarakat Batak. Nilai-nilai gotongroyong dan solidaritas sosial sudah mulai memudar. Bersamaan dengan menguatnya modernisasi dan kapitalisme dalam kehidupan orang Batak Toba.

Saya kira ada baiknya orang Batak Toba melakukan refleksi budaya pada pergantian tahun 2019 ke 2020. Untuk menilai kembali sejauh mana nilai-nilai kebersamaan, gotongroyong, keadilan dan solidaritas sosial masih berlaku dalam kehidupan komunitas Batak. Memudarnya binda adalah indikasi memudarnya nilai-nilai itu.

Begitu saja catatan akhir tahun dari saya, Felix Tani, petani mardijker, waktu kecil pernah memainkan peran sebagai pembersih jeroan babi dalam kegiatan binda.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun