Gereja Katolik di Tanah Batak dikenal sebagai gereja inkulturasi. Kultur Batak diintegrasikan ke dalam liturgi gereja Katolik. Lahirlah nyanyian gerejani dengan irama lagu Batak. Juga penggunaan musik gondang Batak dalam kebaktian gerejani. Misalnya dalam Ibadah Misa Kudus.
Selain itu gereja Katolik di Tanah Batak untuk sebagian mengadopsi arsitektur rumah adat Batak. Ambil contoh gereja Katolik Santo Mikael di Pangururan, Samosir. Benar-benar berupa "ruma bolon" (rumah ada besar) Batak Toba ukuran raksasa.
Begitulah. Adat dan budaya Batak meresap ke dalam liturgi dan kehidupan menggereja agama Katolik di Tanah Batak. Sehingga tata krama dalam relasi sosial orang Batak kadang terbawa pula ke dalam gereja.
Hasil inkulturasi semacam itu, selain positif, ternyata bisa pula negatif. Apalagi jika dilakukan menurut tafsir pribadi, tanpa afirmasi dari pejabat gereja. Bisa kacau jadinya.
***
Bicara tentang kekacauan liturgi terkait pengaruh adat, ada satu cerita dari Desa Panatapan, Tanah Batak. Ini pengalaman Poltak pada perayaan Natal tahun 1966.
Sudah menjadi tradisi liturgi di sana, anak kecil marsipajojoron, melapalkan hapalan ayat-ayat Kitab Suci di depan umat di gereja saat kebaktian Natal.
Bagi Poltak, marsipajojoron pada Natal 1966 itu adalah pengalaman pertama. Usianya 6 tahun waktu itu dan sudah bisa membaca. Dia kebagian menghapal dan merapalkan Yesaya 11: 1-3.
Ayat 1, dalam Bahasa Batak berbunyi sebagai berikut:
"Dung i ruar ma sada tunas sian tungko ni si Isai, jala marparbue sada tubis na tubu sian uratna."
Dalam Bahasa Indonesia: "Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah."
Ayat-ayat Kitab Suci sudah diberikan guru Sekolah Minggu 4 minggu sebelum Natal tiba. Semua murid Sekolah Minggu kebagian, termasuk Poltak. Ayat-ayat wajib dihapal sampai lancar luar kepala.
Poltak membaca dan menghapalkan Yesaya 11: 1-3 tiap hari sampai betul-betul lekat di kepala. Dia sudah benar-benar siap tampil di depan umat pada malam Natal.
Tibalah kebaktian Malam Natal 24 Desember 1966 di Gereja Katolik Stasi Panatapan, Toba. Saat giliran Poltak marsipajojoron, dia melangkah dengan mantap ke depan altar.
Tampilannya sungguh meyakinkan dengan stelan baju baru, sepatu baru, dan sisiran rambut berminyak kelapa ke arah belakang. Seperti anak mafioso Sisilia saja gayanya.
Ompung baoa (kakek), ompung boru (nenek), among (bapak), inong (ibu), dan adik-adiknya tahan nafas memandang ke arah Poltak. Mata mereka melotot semua. Berharap Poltak lancar melapalkan Yesaya 11: 1-3. Cuma tiga ayat pendek.
Secara demonstratif, ompung baoa dan amongnya mengepalkan tinju ke arah Poltak. Maksudnya memberi semangat. "Ayo, Poltak. Libas," kira-kira begitu maksudnya.
Poltak melihat dengan cemas ke arah ompung baoa dan amongnya. Sebelum kemudian melapal dengan lantang: "Dung i ruar ma sada tunas sian ..." Bah, berhenti mendadak.
Poltak melihat lagi ke arah ompung baoa dan amongnya. Kedua lelaki itu semakin kuat mengepalkan tinju mereka. Sambil berteriak berbisik: "Libas!"
Poltak melapal lantang lagi: "Dung i ruar ma sada tunas sian ..." Bah, mendadak putus lagi.
Umat mulai saling berbisik. Prihatin. Kasihan melihat Poltak seperti anak pendosa distrap Voorhanger (guru jemaat) di depan altar.
"Libas!" Ompung baoa dan among Poltak makin gigih berteriak-berbisik sambil mengepal-ngepalkan tinju.
Mendadak Poltak melapal dengan lantang lagi: "Dung i ruar ma sada tunas sian ompung ni si among ..."
Gerrr....gereja pecah oleh gelak-tawa umat. Kecuali ompung baoa dan among Poltak yang tertunduk lemas.
Demi gereja meledak oleh gelak-tawa, Poltak panik, lalu kabur bingung ke bilik sakristi. Di situ Bapak Voorhanger dan teman-temannya sudah menunggu, penuh gelak-tawa juga.
"Poltak, kenapa pula kau bilang 'ompung ni si among'. Kan harusnya 'tungko ni si Isai'. Kacau kita jadinya," tanya Pak Voorhanger
"Aku takut melanggar adat, Amang Voorhanger. 'Tungko' itu nama ompungku. 'Isai' nama amongku. Mereka sudah kepal-kepalkan tinju sambil melotot padaku. Kalau sampai kusebut namanya, matilah aku dihajar nanti. Maka ku bilanglah 'ompung ni si among'."
Pak Voorhanger tambah terbahak-bahak demi mendengar penjelasan Poltak.
***
Tentu saja cerita di atas sebuah anekdot. Itu anekdot populer di kalangan Kristiani Batak. Versinya macam-macam. Tapi diyakini memang pernah ada kejadian seperti itu.
Bagi orang Batak Kristiani, anekdot itu tidak pernah dianggap sebagai penistaan ayat atau Kitab Suci. Malahan dilihat manfaat latennya sebagai pengabaran salah satu ayat terpenting dalam Kitab Suci.
Ayat itu, Yesaya 11: 1 adalah nubuat Nabi Yesaya tentang kelahiran Yesus Kristus, keturunan Raja Daud, putra ketujuh Isai. Karena itu ayat tersebut selalu dibacakan pada saat Perayaan Natal.
Mungkin Yesaya 11:1 adalah ayat Kitab Suci Perjanjian Lama yang paling luas dikenal oleh orang Batak Kristiani. Selain Kejadian 1: 1 tentang penciptaan langit dan bumi, tentu saja.
Gereja inkulturatif sejatinya dimaksudkan agar orang Batak tidak terasing secara budaya dengan masuknya agama Katolik. Maka ada unsur-unsur budaya yang dimasukkan ke dalam proses liturgi gerejani.
Tapi itulah. Ada kalanya inkulturasi itu bikin kacau, seperti halnya anekdot Poltak tadi. Dalam adat dan budaya Batak memang ada norma yang melarang anak-anak memanggil nama orangtua, apalagi kakek dan bapaknya. Itu dianggap kurang ajar, tidak tahu adat, merendahkan orangtua.
Kebetulan ada pula pengukuhan larangan itu dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Tepatnya pada perintah keempat dalam 10 Perintah Allah: "Hormatilah ayah-ibumu" (lihat Keluaran 20:1-17).
Guru Sekolah Minggu di Gereja Katolik Panatapan selalu menekankan perintah keempat itu kepada murid-muridnya. Salah satu contoh kongkritnya adalah larangan menyebut nama orangtua. Itu dianggap tidak hormat pada orang tua.
Larangan itu pula yang melekat pada benak Poltak. Terlebih dia melihat ompung baoa dan amongnya mengepal-ngepalkan tinju sembari melotot ke arahnya.
Dalam pikiran Poltak mereka sedang mengancam: "Awas kalau sampai menyebut nama ompung dan among. Ku libas kau!" Ya, wajarlah dia keder. Lalu kreatif mengubah bunyi Yesaya 11:1 seperti di atas.
Yah, beda tafsir kepalan tinju dan mata melotot antara anak dan bapak, antara cucu dan kakek. Hasilnya, Natal yang kacau.
Begitulah cerita pagi 26 Desember 2019 dari saya, Felix Tani, petani mardijker, sepanjang usia hanya sekali ikut marsipajojoron.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H