Demi gereja meledak oleh gelak-tawa, Poltak panik, lalu kabur bingung ke bilik sakristi. Di situ Bapak Voorhanger dan teman-temannya sudah menunggu, penuh gelak-tawa juga.
"Poltak, kenapa pula kau bilang 'ompung ni si among'. Kan harusnya 'tungko ni si Isai'. Kacau kita jadinya," tanya Pak Voorhanger
"Aku takut melanggar adat, Amang Voorhanger. 'Tungko' itu nama ompungku. 'Isai' nama amongku. Mereka sudah kepal-kepalkan tinju sambil melotot padaku. Kalau sampai kusebut namanya, matilah aku dihajar nanti. Maka ku bilanglah 'ompung ni si among'."
Pak Voorhanger tambah terbahak-bahak demi mendengar penjelasan Poltak.
***
Tentu saja cerita di atas sebuah anekdot. Itu anekdot populer di kalangan Kristiani Batak. Versinya macam-macam. Tapi diyakini memang pernah ada kejadian seperti itu.
Bagi orang Batak Kristiani, anekdot itu tidak pernah dianggap sebagai penistaan ayat atau Kitab Suci. Malahan dilihat manfaat latennya sebagai pengabaran salah satu ayat terpenting dalam Kitab Suci.
Ayat itu, Yesaya 11: 1 adalah nubuat Nabi Yesaya tentang kelahiran Yesus Kristus, keturunan Raja Daud, putra ketujuh Isai. Karena itu ayat tersebut selalu dibacakan pada saat Perayaan Natal.
Mungkin Yesaya 11:1 adalah ayat Kitab Suci Perjanjian Lama yang paling luas dikenal oleh orang Batak Kristiani. Selain Kejadian 1: 1 tentang penciptaan langit dan bumi, tentu saja.
Gereja inkulturatif sejatinya dimaksudkan agar orang Batak tidak terasing secara budaya dengan masuknya agama Katolik. Maka ada unsur-unsur budaya yang dimasukkan ke dalam proses liturgi gerejani.
Tapi itulah. Ada kalanya inkulturasi itu bikin kacau, seperti halnya anekdot Poltak tadi. Dalam adat dan budaya Batak memang ada norma yang melarang anak-anak memanggil nama orangtua, apalagi kakek dan bapaknya. Itu dianggap kurang ajar, tidak tahu adat, merendahkan orangtua.
Kebetulan ada pula pengukuhan larangan itu dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Tepatnya pada perintah keempat dalam 10 Perintah Allah: "Hormatilah ayah-ibumu" (lihat Keluaran 20:1-17).