Media massa Vietnam memuji Doan Van Hau, bek Tim Sepakbola Vietnam pada SEA Games 2019 di Filipina, sebagai "pahlawan yang baik". Â Disebut pahlawan karena telah melesakkan dua dari tiga gol kemenangan Vietnam ke gawang Indonesia. Â Diklaim baik karena telah meminta maaf kepada Evan Dimas, gelandang Tim Sepakbola Indonesia, yang diciderainya, pada momen penyerahan medali juara. Â
Klaim bahwa Van Hau "pahlawan" bagi Vietnam, itu sah saja. Â Karena telah mengantarkan Vietnam menjadi juara pada cabang olah raga sepakbola di SEA Games untuk pertama kalinya setelah mengalahkan Indonesia dakam laga final Selasa 10 Desember 2019 lalu. Jadi klaim itu tak perlu dipertanyakan. Â
Tapi klaim bahwa Van Hau itu "baik" karena telah meminta maaf pada Evan, tunggu dulu. Saya harus katakan dia "tidak baik", karena yang dia lakukan pada Evan itu "jahat". Â Ini bukan ujaran emosional karena Tim Indonesia kalah. Tapi ada penjelasan obyektifnya.
Sekurangnya menurut saya, sebagai penonton setia Tim Indonesia, kalah atau menang, ada lima alasan untuk mengatakan Van Hau "tidak baik".
Pertama, tindakannya menciderai Evan pada menit ke 19 itu sebuah kesengajaan. Itu sebuah "professional foul" yang seharusnya diganjar kartu merah. Â
Dalam video-video tentang insiden itu, jelas terlihat Van Hau berlari dari belakang ke samping kanan Evan. Lalu dengan sengaja, sambil berlari, berbelok sedikit ke depan Evan untuk menginjakkan kaki kirinya ke sisi dalam engkel kaki kiri Evan.
Tidak ada lagi bola di kaki Evan saat itu. Karena sudah dioper ke Zulfiandi. Â Jadi alasan untuk merebut bola tidak bisa diterima. Â Satu-satunya alasan hanya niat "mematikan" Evan dengan cara menciderainya. Â Itu sudah menjadi bagian dari strategi bermain Vietnam: pragmatis dan sadis.
Kedua, tindakan pencideraan itu sangat membahayakan. Semua pemain sepak bola profesional tahu bahwa engkel sisi dalam kaki itu bagian vital sekaligus rentan. Â
Cidera engkel berarti malapetaka. Harus istirahat lama atau mungkin tidak bisa lagi main sepak bola, jika parah. Artinya, karir Evan bisa tamat.
Tindakan Van Hau menciderai Evan pada engkel kakinya adalah suatu kesengajaan, "by design".  Menghajar Evan pada titik terlemah di kakinya. Sebab dia adalah otak serangan  Tim Indinesia.  Ancaman terbesar untuk Tim Vietnam.  Bahkan untuk Van Hau pribadi sebagai bek.
Perhatikan bahwa dalam 19 menit awal pertandingan, sebelum Evan ditarik ke luar lapangan, serangan Indonesia mengalir ke jantung pertahanan Vietnam. Itu berkat visi, strategi, dan taktik bermain Evan sebagai dirigen serangan.
Ketiga, Van Hau sama sekali bukan pemain yang sportif. Tidak punya etika sportivitas. Perhatikan bahwa dia pura-pura tidak tahu bahwa Evan telah mengalami cidera serius.  Padahal, sebagai pemain profesional yang sedang bermain di  klub Eredivisie Heerenveen Belanda, dia pasti tahu tindakannya pasti berakibat fatal. Dia sudah memperhitungkan itu.
Jika dia profesional dan punya etika sportivitas, harusnya langsung meminta maaf kepada Evan, saat gelandang Indonesia ini dipapah ke luar lapangan. Tapi Van Hau memilih pura-pura tidak paham tentang kejadian itu. Karena tidak ingin wasit tahu dia telah menciderai Evan (?) Itu sikap pengecut. Tanpa empati sama sekali. Sadis. Picisan.
Betul bahwa Van Hau akhirnya minta maaf pada Evan saat upacara pengalungan medali. Â Setelah melihat Evan meringkuk di kursi roda. Â Tapi itu sudah sangat terlambat. Â Juga hanya semacam tindakan membeli simpati publik. Khususnya pendukung Tim Indonesia. Â Munafik. Â Itu seperti terdakwa koruptor yang tertangkap tangan lalu membawa-bawa Kitab Suci ke ruang sidang.
Keempat, Van Hau menyebar kebohongan. Menanggapi insiden pelanggaran sadis itu, kepada khalayak Van Hau bilang bahwa dia baru tahu Evan cidera serius setelah pertandingan usai dan bahwa dalam sepak bola benturan tidak dapat dihindari.
Itu sebuah kebohongan untuk menutupi tindakan jahat. Â Van Hau sejak awal sudah tahu tindakannya akan berakibat parah. Sebab dia sengaja menginjak engkel dalam Evan sampai tertekuk. Ingat, bobot Van Hau lebih besar dibanding Evan.
Benturan tidak dapat dihindari dalam sepak bola? Bohong besar. Â Van Hau bukan pemain sepak bola dari era pra-modern. Dia pemain di era sepak bola modern, sepak bola saintifik yang rasional, serba terencana. Â Era sepak bola yang memperhitungkan efisiensi dan efektivitas setiap pergerakan pemain. Sehingga setiap pemain akan menghindari benturan yang tak perlu.
Bukannya tidak ada benturan. Â Ada. Tapi dalam konteks perebutan bola dan dengan menggunakan teknik bersih. Tanpa intensi menciderai lawan. Semisal benturan bahu atau pinggul untuk mengenyahkan lawan. Â
Van Hau tidak membentur badan Evan tapi menginjak engkel kakinya.  Ini bukan kategori "tidak dapat dihindari" tapi  "professional foul".  Itu sama dengan menyikut dada atau perut lawan. Suatu tindakan jahat.
Kelima, Van Hau licik tingkat tinggi. Dia tahu bahwa  pertandingan itu tidak menggunakan teknologi VAR (Video Assistant Referee). Karena itu dia berani menciderai Evan dengan "teknik mulus". Setelah sebelumnya memastikan tindakannya berlangsung di "titik buta" pengawasan wasit.Â
Ini licik karena melakukan tindakan jahat secara tersembunyi. Â Bahkan Evan sendiri tidak sempat menyadarinya.
Dengan menyebut lima alasan itu, saya tidak hendak mengatakan bahwa Indonesia dikalahkan Vietnam dengan cara menciderai Evan. Â Tidak. Â Itu kategori argumen sesat. Â
Tim Indonesia kalah dari Tim Vietnam menurut saya sekurangnya karena empat faktor penyebab.
Pertama, pelatih Indra Syafri tidak menyiapkan rencana cadangan. Â Dia hanya menyiapkan Rencana A yaitu "bermain dengan gelandang Evan Dimas". Â Tidak ada Rencana B yaitu "bermain tanpa gelandang Evan Dimas". Â Akibatnya, ketika Evan ditarik ke luar, permainan Indonesia langsung tumpul.
Kedua, pelatih Indra Syafri tahu bahwa pemain lemah dalam penguasaan bola atas, karena postur tubuh yang lebih pendek dibanding pemain lawan. Sudah tahu pemain bertubuh pendek, mestinya dilatih teknik lompat tinggi.Â
Tubuh boleh pendek, tapi lompatan harus tinggi. Â Itu wajib untuk umumnya pemain Indonesia. Sehingga gol-gol semacam sundulan Van Hau dapat dihalau.
Ketiga, pelatih Indra Syafri lupa belajar "teori parkir motor".  Akibatnya pemain Indonesia tidak bisa diajari cara menembus  parkir motor ala pemain Vietnam.  Perhatikan tukang parkir motor: serapat apapun susunan parkir motor, dia selalu bisa menemukan celah untuk meloloskan motor yang terjepit.
Keempat, pelatih Indra Syafri lupa mengingatkan pemain agar menghindari cara bermain "risiko tinggi". Salah satunya berlama-lama memainkan bola di daerah sekitar gawang.Â
Itu bisa berakibat fatal. Â Sudah terbukti pada pertandingan tersebut. Â Satu gol Vietnam tercipta dari pemanfaatan situasi "risiko tinggi" semacam itu.
Mengapa saya terkesan "menyalahkan" pelatih Indra Syafri? Karena "kesalahan" berbuah jekalahan yang dilakukan 11 pemain di lapangan pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan pelatih. Â
Akhirnya, belajar dari kasus pencideraan Evan Dimas oleh Van Hau, saya punya saran untuk federasi sepak bola. Â Entah itu PSSI, AFC, ataupun FIFA. Â Prinsip dasarnya, setiap pelanggaran oleh pemain terhadap aturan main di lapangan harus dikenai sanksi sepadan. Â Jika ketahuan di lapangan, maka sanksi langsung di lapangan. Â Jika diketahui dan terbukti setelah permainan usai, maka tetap dikenai sanksi pelanggaran. Â Jadi tidak ada pelanggar aturan main yang lepas dari sanksi. Â
Demikiankah sekadar catatan picisan dari saya, Felix Tani, petani mardijker, setiap kali main sepak bola jempol kaki kanan bengkak tujuh hari.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H