Ketiga, Van Hau sama sekali bukan pemain yang sportif. Tidak punya etika sportivitas. Perhatikan bahwa dia pura-pura tidak tahu bahwa Evan telah mengalami cidera serius.  Padahal, sebagai pemain profesional yang sedang bermain di  klub Eredivisie Heerenveen Belanda, dia pasti tahu tindakannya pasti berakibat fatal. Dia sudah memperhitungkan itu.
Jika dia profesional dan punya etika sportivitas, harusnya langsung meminta maaf kepada Evan, saat gelandang Indonesia ini dipapah ke luar lapangan. Tapi Van Hau memilih pura-pura tidak paham tentang kejadian itu. Karena tidak ingin wasit tahu dia telah menciderai Evan (?) Itu sikap pengecut. Tanpa empati sama sekali. Sadis. Picisan.
Betul bahwa Van Hau akhirnya minta maaf pada Evan saat upacara pengalungan medali. Â Setelah melihat Evan meringkuk di kursi roda. Â Tapi itu sudah sangat terlambat. Â Juga hanya semacam tindakan membeli simpati publik. Khususnya pendukung Tim Indonesia. Â Munafik. Â Itu seperti terdakwa koruptor yang tertangkap tangan lalu membawa-bawa Kitab Suci ke ruang sidang.
Keempat, Van Hau menyebar kebohongan. Menanggapi insiden pelanggaran sadis itu, kepada khalayak Van Hau bilang bahwa dia baru tahu Evan cidera serius setelah pertandingan usai dan bahwa dalam sepak bola benturan tidak dapat dihindari.
Itu sebuah kebohongan untuk menutupi tindakan jahat. Â Van Hau sejak awal sudah tahu tindakannya akan berakibat parah. Sebab dia sengaja menginjak engkel dalam Evan sampai tertekuk. Ingat, bobot Van Hau lebih besar dibanding Evan.
Benturan tidak dapat dihindari dalam sepak bola? Bohong besar. Â Van Hau bukan pemain sepak bola dari era pra-modern. Dia pemain di era sepak bola modern, sepak bola saintifik yang rasional, serba terencana. Â Era sepak bola yang memperhitungkan efisiensi dan efektivitas setiap pergerakan pemain. Sehingga setiap pemain akan menghindari benturan yang tak perlu.
Bukannya tidak ada benturan. Â Ada. Tapi dalam konteks perebutan bola dan dengan menggunakan teknik bersih. Tanpa intensi menciderai lawan. Semisal benturan bahu atau pinggul untuk mengenyahkan lawan. Â
Van Hau tidak membentur badan Evan tapi menginjak engkel kakinya.  Ini bukan kategori "tidak dapat dihindari" tapi  "professional foul".  Itu sama dengan menyikut dada atau perut lawan. Suatu tindakan jahat.
Kelima, Van Hau licik tingkat tinggi. Dia tahu bahwa  pertandingan itu tidak menggunakan teknologi VAR (Video Assistant Referee). Karena itu dia berani menciderai Evan dengan "teknik mulus". Setelah sebelumnya memastikan tindakannya berlangsung di "titik buta" pengawasan wasit.Â
Ini licik karena melakukan tindakan jahat secara tersembunyi. Â Bahkan Evan sendiri tidak sempat menyadarinya.
Dengan menyebut lima alasan itu, saya tidak hendak mengatakan bahwa Indonesia dikalahkan Vietnam dengan cara menciderai Evan. Â Tidak. Â Itu kategori argumen sesat. Â