Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Syarat Kemerdekaan Belajar, Singkirkan Perangkat Komunikasi Elektronik

28 November 2019   19:39 Diperbarui: 29 November 2019   08:46 2360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menciptakan kemerdekaan belajar itu mudah. Singkirkan semua perangkat komunikasi elektronik dari dalam kelas. Sisakan hanya papan tulis. Berikut kapur dan penghapusnya, tentu saja.

Mengapa begitu? Karena alat komunikasi elektronik seperti ponsel, tablet, laptop, dan proyektor LCD adalah "penjajah". Perangkat itu telah menginvasi kehidupan para murid. Lalu merampas kemerdekaan mereka selaku manusia berdaulat.

Coba amati kondisi sosial sekolah sehari-hari. Lihat perilaku para murid saat di luar kelas. Duduk bersama tapi masing-masing sibuk dengan gadget sendiri. Tidak ada interaksi sosial. Tidak ada komunikasi di antara mereka.

Perilaku mereka seragam. Atau setidaknya sepola. Diformat dan dikendalikan oleh peramban dan aplikasi yang sama di gadged mereka. Perbincangan lewat Line, WA, Twitter, Facebook, Instagram, dan lain-lain. Pencarian informasi lewat Google, Youtube, dan lain-lain.

Tidak ada lagi perilaku merdeka yang asli dan unik. Perilaku yang lahir dari kedaulatan pribadi para murid. Kedaulatan dalam berpikir, bersikap, berkata, dan bertindak.

Invasi perangkat komunikasi elektronik telah memberikan pilihan-pilihan pikiran, sikap, kata, dan tindakan untuk mereka. Mereka tinggal pilih. Mudah tapi celaka. Sebab daya kreasi individu telah dimandulkan dengan cara itu. Malas berpikir, maunya serba instan.

Apa yang terjadi di luar kelas, terjadi juga di dalam ruang kelas. Guru mengajarkan materi ajar dalam format "Power Point" yang ditayangkan lewat perangkat proyektor LCD. Isi file "Power Point" itu ringkasan buku, yang sudah digunakan berulang kali. Isinya mungkin tidak pernah diperbarui.

Format "Power Point" itu juga umumnya juga ngawur. Bukan menyajikan "kata/simbol kunci" (point) yang "substantif" (power). Tapi kalimat-kalimat panjang. Atau bahkan paragraf. Sebab Pak Guru atau Bu Guru tidak pernah diajari keahlian membuat bahan "Power Point" yang baik dan benar.

Di depan kelas, isi kepala guru telah dijajah "Power Point". Lalu dia bicara kepada para murid mengulang kalimat-kalimat "Power Point". Sedangkan murid sibuk menyalin isi "Power Point" ke lembar buku tulisnya.

Absurd. Guru bicara, murid melihat (layar), bukan mendengar. Bukankah ini sia-sia? Guru dan murid menghabiskan waktu untuk menceramahkan dan menyalin segala sesuatu yang bisa dibaca sendiri dalam buku. Tidak ada komunikasi di situ. Hanya ada instruksi, atau pemberitahuan.

Begitulah. "Power Point" telah merampas "kemerdekaan belajar" dari ruang kelas. "Power Point" mendikte guru. Guru mendikte murid dengan senjata "Power Point". Hasilnya adalah transfer pengetahuan yang dangkal, bahkan teramat dangkal. Bukan "pengajaran". Jangan kata "pendidikan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun