Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi dan Gejala "Oposisi Internal" di Kabinetnya

22 Oktober 2019   09:07 Diperbarui: 22 Oktober 2019   13:28 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pihak oposisi di Istana. (KOMPAS)

Dari sisi itu, saya kira, Jokowi berpikir bahwa Prabowo akan lebih bermanfaat bagi kemajuan bangsa apabila diintegrasikan ke dalam kabinet, ketimbang berada di luar kabinet sebagai "oposisi eksternal".  

Sebab keduanya sejatinya punya visi yang selaras tentang "Indonesia Maju". Karena kesamaan visi itu, Prabowo tidak akan efektif menjadi oposisi, kecuali hanya menjadi "tukang nyinyir dari luar garis". Seperti yang dipanggungkan Fadli Zon selama ini.

Satu hal yang saya pikir sudah dipastikan Jokowi sebelum memutuskan menarik Prabowo ke dalam kabinetnya adalah memastikan Prabowo "bersih" dari pengaruh dan kepentingan "penumpang gelap", khususnya kelompok pengusung kontra-idiologi Pancasila.  

Tentang hal itu publik bisa menilai apakah Prabowo seorang Anti-Pancasila? Apakah Gerindra, partai politik yang dipimpinnya, Anti-Pancasila atau sekurangnya menduakan Pancasila? 

Dukungan kekuatan yang mungkin Anti-Pancasila pada Prabowo saat Pilpres 2019 bukanlah indikasi Prabowo dan Gerindra Anti-Pancasila. Pada posisi sebagai rival Jokowi sudah pasti Prabowo harus menarik suara dari kalangan Anti-Jokowi. Begitulah "permainan politik" harus dimainkan.

Saya pikir Jokowi dan Prabowo adalah dua orang "pemain politik" tingkat tinggi. Mereka berdua sangat sadar bahwa antara mereka ada kesamaan visi dan ada chemistry politik yang produktif.  

Jadi ketimbang Prabowo menjadi oposisi eksternal yang "nyaring tanpa perlawanan", bukankah lebih baik bagi bangsa dan negara ini jika keduanya berkolaborasi?

Tapi misalkan Jokowi salah hitung, atau Prabowo kemudian berubah haluan menjadi kekuatan "oposisi internal" dalam Kabinet Jokowi II. Apakah Jokowi punya kekuatan untuk meredamnya?

Untuk menjawab pertanyaan ini baiklah jika merujuk pada kasus empirik. Jokowi pernah mengangkat seorang menteri yang ternyata kemudian menjadi "oposisi internal". 

Itulah Rizal Ramli, kemudian menjadi kubu pendukung Prabowo, yang bikin "gaduh" karena berseteru dengan menteri lain dan bahkan Wapres Jusuf Kalla.  Apa yang kemudian dikakukan Jokowi? Tegas dan simpel: copot dari tim lalu buang ke luar!  

Jokowi adalah Presiden. Dia berhak dan pasti berani mencopot siapapun menterinya yang bertindak mbalelo dengan menjadi "oposisi internal". Tidak terkecuali dengan Prabowo Subianto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun