Maka KSP perlu hadir dengan timnya untuk menyelesaikan sengekata pertanahan tersebut secara berkeadilan. Tim yang dibentuk harus benar-benar paham mengenai sejarah pertanahan (agraria) wilayah Uluan Tobasa, khususnya Sibisa-Sigapiton-Ajibata-Horsik-Aeknatolujaya. Juga paham mengenai masyarakat hukum adat Batak Toba dan hukum adat pertanahan yang berlaku di sana. Serta paham mengenai struktur sosial masyarakat Batak Toba.
Penyelesaian sengketa pertanahan Bius Raja Naopat Sigapiton dan BPODT ini bernilai strategis. Sebab masalah serupa sangat mungkin timbul pula di lokasi lain, tempat pembangunan destinasi wisata, semisal di Pulau Sibandang, Muara. Belajar dari sengketa pertanahan di The Kaldera, maka bisa dirumuskan pendekatan untuk mencegah hal serupa terulang di tempat lain di sekitar Danau Toba.
Jangan lagi ada perempuan Batak yang harus telanjang demi mempertahankan hak masyarakatnya atas tanah adat. Jika sampai hal itu terjadi lagi, maka yang pertama harus malu dan yang mestinya paling besar malunya adalah pemerintah. Sebab pemerintah tak mampu menjamin hak rakyatnya untuk hidup selayaknya.
Secara khusus saya harus menyebut nama Pak Jokowi di sini, dalam statusnya sebagai Presiden RI, Kepala Pemerintahan yang tertinggi. Semestinya Pak Presidenlah yang menanggung malu paling besar atas kejadian perempuan Batak telanjang untuk mempertahankan hak hidupnya.
Demikian pandangan dari saya, Felix Tani, petani mardijker, mendukung inisiatif KSP untuk penyelesaian sengketa tanah warga Sigapiton dan BPODT secara berkeadilan.(*)
Baca: Pak Jokowi, Ibu-ibu Telanjang Menuntut Haknya di The Kaldera Toba