Mereka, dengan bantuan LSM, sudah menyampaikan persoalan itu kepada Bupati Tobasa, BPODT, Kementerian LHK, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, bahkan kepada Presiden Jokowi. Tapi jawabannya adalah kehadiran bulldozer pada pada tanggal 12 September itu. Jawaban yang sangat telanjang: "Pemerintah tidak mengakui tanah adat Bius Raja Naopat Sigapiton!"
Jika para perempuan Sigapiton pada hari itu kemudian melakukan aksi telanjang menghadang aparat kekuasaan dan buldosernya di areal The Kaldera Nomadic, maka kejadian itu harus dilihat sebagai puncak "perlawanan kaum lemah".
Pada hari itu mereka telah menggunakan senjata terakhir kaum lemah yaitu "aksi perempuan telanjang di hadapan penguasa".
"Apakah para perempuan itu tidak malu telanjang?" Itu pertanyaan yang salah. Sebab yang harus ditanyakan dan dijawab adalah: "Apakah pemerintah tidak malu warganya, para perempuan yang nota bene penjaga tata-krama, harus menelanjangi diri demi memperjuangkan hak atas tanah yang menjadi basis kehidupan keluarganya?"
Tanah adalah ulos na so ra buruk, kain tak kunjung lapuk, bagi orang Batak. Tanah adalah "pakaian harga diri, kehormatan". Jadi nilainya melebihi saput-saput, pakaian penutup badan.
Karena itu aksi telanjang para perempuan Sigapiton itu sangat dalam maknanya. Mereka sedang meneriakkan puncak kemarahan: "Kami berdaulat atas tanah kami, seperti kami berdaulat atas tubuh kami!"
Sebenarnya perempuan Batak telanjang memperjuangkan hak atas tanah adat adalah sebuah paradoks sosial. Sebab menurut hukum adat pertanahan Batak, perempuan dalam status sosialnya sebagai marga boru tidak memiliki hak milik atas tanah adat.
Dia hanya berhak atas tanah puseang, tanah yang diberikan ayahnya sebagai bekal hidup perkawinan. Laki-lakilah yang berhak atas tanah adat, dalam status sosialnya sebagai marga raja atau raja huta.Â
Ironisnya, karena laki-laki Batak lazim merantau dan meninggalkan para perempuan di kampung, tanggungjawab menjaga tanah kemudian terbeban pada pundak perempuan.
Mereka harus menjaga tanah, tapi mereka tak punya kuasa atas tanah yang dijaganya. Betapa besar tanggungjawab perempuan, sebaliknya betapa lemah posisi mereka dalam struktur penguasaan tanah.
Apakah pemerintah sudi mendengar kemarahan para perempuan Sigapiton, kaum terlemah dalam struktur sosial masyarakat adat Batak itu? Tidak! Sejauh ini pemerintah masih menulikan diri.