Pada pagi hari Rabu 25 September 2019 kemarin saya sudah mengirim pesan WA kepada seorang teman yang berkantor di Manggala Wanabhakti, untuk mengingatkan apakah kondisi sekitar komplek Manggala yang bertetangga dengan komplek DPR Senayan cukup aman?
Soalnya siang pukul 13.30 WIB kami sudah agendakan untuk rapat di kantornya. Teman itu kemudian membalas dengan mengirimkan tautan berita online yang menyatakan kondisi sekitar komplek DPR aman. Tidak ada pergerakan massa demonstran penolak UU-KPK dan RKUHP.
Siang, pukul 12.30 WIB, saya bergerak dari Blok M Jakarta selatan menuju Manggala Wanabakti menggunakan jasa kendaraan mobil online. Supir yang terkesan cerdas bertanya apakah tidak ada massa demonstran di DPR?
"Mudah-mudahan tidak ada," jawab saya.
"Untuk apa mahasiswa itu demonstrasi sampai dua hari dua malam?" cecarnya.
"Ya, supaya Bapak tidak dituntut kalau menunjukkan kondom ke anak. Anak gadis Bapak tidak didenda kalau kebetulan keleleran di jalan sampai larut malam sepulang lembur kerja. Antara lain begitu," jawab saya sekenanya.
"Masa begitu?" dia kaget.
"Ya, DPR maunya begitu, rupanya," imbuh saya.
Tiba di pertigaan Jalan Asia Afrika dan Jalan Pintu Satu Gelora Senayan, mobil yang saya tumpangi langsung mandeg dihadang buntut kemacetan menuju Jalan Gelora dan Jalan Gerbang Pemuda.
"Wah, macet, Pak," kata sopir.
"Ya," jawab saya, sambil mencek google map untuk mencari tahu penyebab dan panjangnya kemacetan. Ternyata Jalan Gelora, akses ke belakang komplek DPR, ditutup.
"Belok ke Jalan Gerbang Pemuda saja nanti," saya mengarahkan.Â
Lepas dari kemacetan, mobil belok kanan ke Jalan Gerbang Pemuda. Lancar. Tapi di ujung, akses masuk ke Jalan Gatot Subroto ditutup, sehingga mobil harus berputar balik di ujung jalan.
Pilihannya adalah berputar kembali lalu naik flyover Jalan Gerbang Pemuda, untuk selanjutnya blusukan lewat jalan-jalan kecil sampai kemudian masuk ke Jalan Pejompongan Raya, lalu belok kiri masuk lewat kolong flyover Slipi menuju Manggala Wanabhakti. Ternyata Jalan Palmerah Timur yang melengkung di sisi barat komplek Manggala sudah ditutup dan steril dari kendaraan bermotor.
Di sepanjang Jalan Palmerah Timur sampai Stasiun Commuterline Palmerah, saya lihat polisi sudah berjaga-jaga. Di tepi flyover Slipi saya melihat banyak anak SLTA berseragam putih abu-abu dan anak SMP berseragam pramuka bergerombol.
Kemudiaan saya tahu mereka adalah bagian dari pelajar Jabodetabek, khususnya STM, yang digerakkan untuk demo ke Senayan dengan pesan berantai WA. Naluri saya mulai bicara, sore nanti bakal ramai lagi.
Sambil memikirkan bagaimana nanti caranya seorang tua seperti saya lolos dari kepungan massa demonstran, saya melangkah masuk ke komplek Manggala Wanabhakti.
Tiba di kantor teman, saya minta agar rapat langsung dilaksanakan secara cepat-tepat, karena kondisi di luar sudah mulai menunjukkan tanda-tanda tidak kondusif. Waktu itu waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB, terlambat 30 menit karena menunggu teman yang belum bisa tembus masuk Manggala Wanabhakti.
Tepat pukul 15.30 WIB rapat ditutup. Bersamaan dengan itu diumumkan agar seluruh pegawai di lingkungan Manggala Wanabhakti segera pulang.
Semua orang bergegas keluar komplek Manggala Wanabhakti. Naik mobil, naik bus antar-jemput, dan jalan kaki seperti saya. Tiba di luar komplek, dua jalur di sisi Manggala, yaitu Jalan Palmerah Timur dan terusan Jalan Raya Pejompongan sudah ditutup.Â
Saya harus memutuskan harus berjalan ke arah mana: ke selatan ke arah Stasiun Palmerah atau ke utara ke arah terowongan flyover Slipi? Karena saya lihat massa demonstran berseragam sudah sangat ramai di perlintasan rel sebidang Palmerah, maka saya putuskan untuk melangkah ke utara. Pilihannya hanya jalan kaki karena ojek online tidak bisa masuk ke depan Manggala Wanabhakti.
Melangkah menuju utara, saya berpapasan dengan kelompok-kelompok demonstran berseragam putih abu-abu, pramuka, dan pakaian bebas. Semuanya usia SLTA dan SLTP. Saya perhatikan beberapa anak membawa anak panah di tangannya. Saya pikir, anak-anak remaja ini seolah berangkat menuju lokasi tawuran saja.Â
Terowongan flyover Slipi macet total. Soalnya semua kendaraan yang datang dari arah Pejompongan (utara) dialihkan berputar naik ke flyover Slipi. Saya menerobos kemacetan itu untuk tiba di Jalan Pejompongan IV, di samping BNI Tower. Sambil mengindari tambarakan dengan anak-anak sekolah yang setengah berlari ke arah selatan menuju Stasiun Palmerah.Â
Sempat saya terpikir, bukankah anak-anak SLTA dan SLTP ini sebenarnya masih apolitis? Mengingat mereka adalah anak-anak milenial yang lebih peduli pada gadgednya melebihi kepedulian pada pacarnya, bahkan orangtuanya, apalagi pada UU KPK dan RKUHP? Apakah angin kesadaran politik sudah berembus ke dunia remaja? Sehingga regenerasi kader politik bisa nanti semakin cepat?
Saya tak bisa menjawab pertanyaan itu. Saya lihat sisi baiknya saja. Para pelajar itu sedang belajar berpolitik di jalanan. Sekurangnya mereka sedang belajar mentransformasi "tawuran" menjadi "demonstrasi", atau "hasrat barbar" menjadi "hasrat demokrasi". Bahwa cara berdemonstrasi mereka terlihat tak ubahnya sedang "tawuran dengan polisi", ya, memang masih harus banyak belajar cara berdemonstrasi yang baik dan benar.
Di samping BNI Tower saya berusaha memesan ojek online. Anehnya ojek online yang merespon selalu berada di sekitar Jalan Palmerah Raya sehingga sulit untuk menembus kemacetan menuju Pejompongan.
Saya harus membatalkan sekitar delapan pesanan ojek on-line sehingga akun saya diblokir provider karena terlalu banyak membatalkan pesanan. Boleh pesan 1 jam lagi. Bagus sekali, ya. Saya sudah menunggu ojek online hampir 30 menit tanpa hasil. Bukan salah saya ataupun tukang ojek. Tapi salah keadaan.
Di tengah kebingungan mendapatkan cara menemukan ojek pasca-blokir akun, tiba-tiba terdengar tembakan gas air mata bertalu-talu di seberang flyover Slipi, kira-kira di depan manggala Wanabhakti.
Saya masih bersikap tenang sampai mendadak satu ampul gas air mata mendarat tepat 3 meter di belakang saya. Saya langsung lari menghindar, sambil berpikir bagaimana caranya gas air mata itu ditembakkan melewati flyover Slipi. Itu kan jarak yang jauh. Apa polisi tidak tahu di seberang sini ada orang tua yang sedang panik karena akun ojek onlinenya diblokir?
Di tengah kebingungan, saya berlari menyeberangi Jalan Pejompongan Raya ke sisi barat. Di tepi jalan saya mulai celingak-celinguk mencari ojek.
Tuhan memang maha baik pada orang tua yang sedang kebingungan. Tiba-tiba ada tukang ojek pangkalan berhenti di depan saya, dan menawarkan jasanya. Wah, pucuk dicinta ulam tiba.Â
"Ke stasiun MRT Benhil, berapa, Pak?" tawarku.
"Lima belas ribu saja, ya?" jawabnya.Â
Saya langsung lompat ke boncengan Abang Ojek, tanpa berpikir apakah Rp 15,000 itu mahal atau tidak. Yang penting saya bisa bebas dari cekaman pelajaran demonstrasi para pelajar SLTA dan SLTP ini. Daripada kena gas air mata atau lemparan batu di jidat, lebih baik menghindar secepat mungkin. Lagi pula kawasan Pejompongan sangat asing bagi saya, sehingga potensi nyasar jika lari menyelamatkan diri sangat besar.
Demikian sekadar berbagi pengalaman hampir terjebak di tengah demonstrasi pelajar penolak UU KPKK dan RKUHP di sekitar Manggala Wanabhakti dan Slipi/Pejompongan.
Pelajarannya, jika usia sudah tua, sebaiknya jangffan dekat-dekat dengan lokasi demonstrasi. Selalu ada risiko kena gas air mata atau batu nyasar. Orang tua, karena faktor fisik renta, sungguh sukar menyelamatkan diri. Tidak semua orang beruntung seperti saya dapat kiriman ojek pangkalan dari Tuhan.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H