Kemudiaan saya tahu mereka adalah bagian dari pelajar Jabodetabek, khususnya STM, yang digerakkan untuk demo ke Senayan dengan pesan berantai WA. Naluri saya mulai bicara, sore nanti bakal ramai lagi.
Sambil memikirkan bagaimana nanti caranya seorang tua seperti saya lolos dari kepungan massa demonstran, saya melangkah masuk ke komplek Manggala Wanabhakti.
Tiba di kantor teman, saya minta agar rapat langsung dilaksanakan secara cepat-tepat, karena kondisi di luar sudah mulai menunjukkan tanda-tanda tidak kondusif. Waktu itu waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB, terlambat 30 menit karena menunggu teman yang belum bisa tembus masuk Manggala Wanabhakti.
Tepat pukul 15.30 WIB rapat ditutup. Bersamaan dengan itu diumumkan agar seluruh pegawai di lingkungan Manggala Wanabhakti segera pulang.
Semua orang bergegas keluar komplek Manggala Wanabhakti. Naik mobil, naik bus antar-jemput, dan jalan kaki seperti saya. Tiba di luar komplek, dua jalur di sisi Manggala, yaitu Jalan Palmerah Timur dan terusan Jalan Raya Pejompongan sudah ditutup.Â
Saya harus memutuskan harus berjalan ke arah mana: ke selatan ke arah Stasiun Palmerah atau ke utara ke arah terowongan flyover Slipi? Karena saya lihat massa demonstran berseragam sudah sangat ramai di perlintasan rel sebidang Palmerah, maka saya putuskan untuk melangkah ke utara. Pilihannya hanya jalan kaki karena ojek online tidak bisa masuk ke depan Manggala Wanabhakti.
Melangkah menuju utara, saya berpapasan dengan kelompok-kelompok demonstran berseragam putih abu-abu, pramuka, dan pakaian bebas. Semuanya usia SLTA dan SLTP. Saya perhatikan beberapa anak membawa anak panah di tangannya. Saya pikir, anak-anak remaja ini seolah berangkat menuju lokasi tawuran saja.Â
Terowongan flyover Slipi macet total. Soalnya semua kendaraan yang datang dari arah Pejompongan (utara) dialihkan berputar naik ke flyover Slipi. Saya menerobos kemacetan itu untuk tiba di Jalan Pejompongan IV, di samping BNI Tower. Sambil mengindari tambarakan dengan anak-anak sekolah yang setengah berlari ke arah selatan menuju Stasiun Palmerah.Â
Sempat saya terpikir, bukankah anak-anak SLTA dan SLTP ini sebenarnya masih apolitis? Mengingat mereka adalah anak-anak milenial yang lebih peduli pada gadgednya melebihi kepedulian pada pacarnya, bahkan orangtuanya, apalagi pada UU KPK dan RKUHP? Apakah angin kesadaran politik sudah berembus ke dunia remaja? Sehingga regenerasi kader politik bisa nanti semakin cepat?
Saya tak bisa menjawab pertanyaan itu. Saya lihat sisi baiknya saja. Para pelajar itu sedang belajar berpolitik di jalanan. Sekurangnya mereka sedang belajar mentransformasi "tawuran" menjadi "demonstrasi", atau "hasrat barbar" menjadi "hasrat demokrasi". Bahwa cara berdemonstrasi mereka terlihat tak ubahnya sedang "tawuran dengan polisi", ya, memang masih harus banyak belajar cara berdemonstrasi yang baik dan benar.
Di samping BNI Tower saya berusaha memesan ojek online. Anehnya ojek online yang merespon selalu berada di sekitar Jalan Palmerah Raya sehingga sulit untuk menembus kemacetan menuju Pejompongan.