Mungkin dua hal tersebut akan mengubah masterplan Resort The Kaldera. Tapi saya pikir itu bukanlah tabu atau dosa. Sebab Resort The Kaldera dibangun bukan demi pariwisata melainkan demi kemaslahatan manusia. Pertama tentulah manusia yang ada di sana, warga Bius Raja Paropat Sigapiton secara khusus, warga desa lingkar The Kaldera secara umum. Lalu kesejahteraan para wisatawan yang berkunjung ke sana. Terakhir baru kesejahteraan pengusaha dan bangsa.
Pesan Singkat untuk Pak Luhut Panjaitan
Ada potensi kerusakan bangunan sosial Batak di Bius Raja Paropat Sigapiton dengan beroperasinya BPODT membangun Resort The Kaldera. Hal itu berpangkal dari pengambil-alihan sebagaian golat dan homban Bius Raja Paropat Sigapiton lewat HPL BPODT.
Warga Sigapiton menuntut pengakuan atas golat dan homban mereka kepada BPODT dan pemerintah. Jika masalah ini tidak diselesaikan, maka kehadiran BPODT dan Resort The Kaldera akan kontraproduktif bagi ekologi dan ekonomi sawah lembah Sigapiton. Jika basis ekologi dan ekonomi rusak, maka bangunan sosial Batak di Sigapiton juga terancam rusak.
Dalam kapasitasnya selaku Ketua Dewan Pengarah Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba, saya berharap Pak Luhut Panjaitan sudi mengarahkan BPODT, agar dapat merevisi masterplan The Kaldera. Dua hal yang saya usulkan untuk diintegrasikan adalah, pertama, enklaf hutan untuk sumber air (homban) Sigapiton dan, kedua, pengembangan zona agrowisata (hortikultura) di kawasan The Kaldera dengan mengintegrasikan warga Sigapiton di dalamnya.
Dengan langkah-langkah itu maka kehadiran BPODT dan pembangunan pariwisata di Sigapiton atau umumnya di lingkar Danau Toba tidak menjadi faktor perusak bagi bangunan sosial Batak di sana. Sebab jika bangunan sosial rusak, maka sebuah masyarakat rusak. Jadi untuk apa semua obyek wisata kelas dunia dibangun di sana, jika pada akhirnya masyarakat setempat mengalami kerusakan sosial?
Itu saja dari saya, Felix Tani, petani mardijker, bukan putra Sigapiton, tetapi sangat apresiatif terhadap keindahan bangunan sosial Batak lembah Sigapiton dengan ekologi budaya sawahnya.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H