Itulah yang tampaknya terjadi pada kasus sengketa antara Bius Raja Paropat Sigapiton berhadapan dengan pihak BPODT terkait areal HPL Resort The Kaldera di Sibisa, Tobasa.
Kasus Sengketa Bius Raja Paropat Sigapiton versus BPODT
Bius Raja Paropat Sigapiton, terdiri dari huta-huta rintisan marga raja Sirait, Butarbutar, Manurung, dan Nadapdap kini berdapan dengan BPODT yang mendapat HPL atas kawasan hutan yang akan dijadikan Resort The Kaldera, salah satu dari 12 obyek wisata yang sedang dikembangkan di lingkar Danau Toba.
Masalahnya sebagian dari kawasan HPL itu, secara hukum adat pertanahan, termasuk ke dalam golat Bius Raja Paropat Sigapiton. Di dalam golat itu tidak saja terdapat perladangan warga, tetapi juga homban atau sumber air utama untuk irigasi sawah dan keperluan sehari-hari warga Sigapiton. Jika Resort The Kaldera dibangun, tentu dengan proses land clearing, dikhawatirkan sumber air akan mati sehingga sawah warga Sigapiton akan mengering dan air bersih menjadi langka.
Dalam artikel "Orang Batak dan Budaya Lembahnya" (Kompasiana.com, 25/9/2016), saya secara khusus sudah mengambarkan "budaya lembah" Sigapiton. Dengan pendekatan ekologi budaya, saya sudah tunjukkan inti budaya orang Batak Sigapiton itu adalah "sawah beririgasi tradisional". Artinya, sawah adalah basis eksistensi bangunan sosial komunitas Sigapiton. Tidak ada sawah, maka eksistensi sosial-budaya Sigapiton terancam punah.
Jadi bisa dibayangkan, jika homban sumber irigasi itu mati karena Resort The Kaldera, maka sawah Sigapiton akan hilang. Bangunan sosial masyarakat Batak Sigapiton juga akan terganggu karena sumber-sumber penghidupan terganggu. Persaingan nafkah akan meningkat, mungkin berujung polarisasi pro-BPODT dan anti-BPODT, sehingga bangunan sosial Batak Sigapiton runtuh.
Masalahnya, sejauh ini, tidak terlihat keseriusan pemerintah daerah mapun pusat (Kementerian KLH) untuk menyelesaikan masalah sengketa tanah antara Bius Raja Paropat Sigapiton versus BPODT. BPODT sendiri terkesan lepas tangan, karena menurut direksinya badan ini telah mendapat HPL dari pemerintah secara clear and clean. Jika ada masalah pertanahan seperti itu, BPODT minta warga Sigapiton mengurusnya ke pemerintah atau sekalian ke pengadilan.
Sikap BPODT benar, tapi tidak bijak. Betul bahwa fokus badan ini adalah membangun obyek wisata kelas dunia di The Kaldera. Tapi itu mestinya tidak semata bangunan fisik. Melainkan juga bangunan sosial yang menjadi "jiwa" di suatu lokasi wisata. Terlebih Desa Sigapiton akan dikembangkan menjadi "desa wisata".Â
Pengembangan Desa Wisata Sigapiton pastilah akan terkendala oleh sengketa penguasaan tanah ini. Warga Bius Raja Paropat Sigapiton sudah mengambil sikap tegas. Selesaaikan dulu masalah pertanahan, baru bicara soal pembangunan pariwisata. Sebab absurd bicara mengenai pembangunan Desa Wisata Sigapiton yang berekologi-budaya sawah, tapi homban sumber air irigasi sawah itu mati oleh pembangunan Resort The Kaldera. Sigapiton tanpa "ekologi sawah" bukanlah Sigapiton.
Warga Bius Raja Paropat Sigapiton tidak anti-pembangunan pariwisata khususnya Resort The Kaldera. Mereka hanya minta hak-hak pertanahan mereka diakui dan homban yang menjadi sumber utama air irigasi dan komsumsi mereka lestari. Itu artinya mereka minta agar BPODT mengintegrasikan kepentingan ekologi-sawah Sigapiton ke dalam masterplan pengembangan Resort The Kaldera.
Ada dua hal yang perlu diakomodir BPODT. Pertama, menjamin kelestarian homban dengan cara menjadikan sumber air tersebut sebagai "enklaf hutan" di kawasan The Kaldera, seperti sedia kala. Dengan demikian sumber air tetap terpelihara, walaupun mungkin tidak sebaik sebelumnya.
Kedua, menjamin nafkah warga Bius Raja Paropat Sigapiton yang memiliki lahan garapan (hak pakai tanah adat atau golat di kawasan Resort The Kaldera. Ini bisa dilakukan misalnya dengan mengembangkan zona agroindustri (hortikutura) modern di kawasan itu dan menyertakan warga di dalamnya.Â