Di media massa online dan media sosial sedang viral sebuah perkara "bau ikan asin". Ini perkara ujaran seorang mantan suami di Youtube tentang mantan istrinya yang, katanya, "sesuatu"-nya bau ikan asin. Mantan istri merasa dihinakan, tidak terima, lalu mengadukan mantan suaminya kepada polisi, dengan dampingan seorang pengacara yang kondang di lingkungan selebritis.
Saya tidak akan eksplisit mengungkap detil objek dan nama subjek-subjek perkara itu di sini. Untuk menghindari artikel ini jatuh menjadi artikel gosip murahan yang maha-vulgar.
Fokus saya bukan objek perkara itu melainkan kejadiannya, sebagai sebuah kejadian sosial. Dari kacamata sosiologi gender, perkara yang melibatkan mantan suami dan mantan istri itu, saya pahami sebagai sebuah "perkara penghinaan gender". Dalam kasus ini pelecehan (gender) laki-laki terhadap (gender) perempuan.
Orang luar, maksud saya di luar para subjek perkara, mungkin terbagi tiga pandangannya. Satu bagian mungkin setuju perkara itu diteruskan ke pengadilan. Dengan alasan untuk memberi pendidikan etika gender kepada laki-laki.
Satu bagian lagi mungkin tidak setuju jika perkara itu harus sampai ke pengadilan. Barangkali lebih baik diselesaikan secara damai untuk menghindari ekspos aib yang lebih luas di pengadilan nanti.
Sisanya mungkin hanya menganggap perkara itu sebagai akal-akalan para selebritis agar menjadi sorotan publik. Selebritis hidup dari sorotan publik semacam itu, sekalipun dalam soal yang sebenarnya hina, nista, atau rendahan.
Di benak kelompok ketiga ini mungkin muncul pertanyaan, kira-kira bagaimana caranya membuktikan klaim "bau ikan asin" itu di pengadilan nanti. Sebab "barang bukti"-nya, yang katanya "bau ikan asin" itu, harus dibawa ke hadapan hakim, bukan?Â
Itu terdengar seperti anekdot istri yang mengadukan suaminya melakukan KDRT dengan mencambuki bokongnya, tapi ketika diminta menunjukkan bukti kekerasan di depan hakim, Si Istri malah bingung (bukankah itu sebenarnya Si Istri "dicambuki" lagi di pengadilan?)
Menjadi tidak bermutu, memang, jika perkara ini fokus pada pembuktian "bau ikan asin". Karena itu sejak awal, materi pengaduan mantan istri itu adalah penghinaan oleh mantan suaminya. Pengacaranya bilang itu merendahkan perempuan.
Saya setuju pada ujaran pengacara itu. Tak perduli siapa sebenarnya orangnya dan bagaimana sepak-terjang sosialnya.
Karena itu saya adalah bagian pertama dari khalayak yang setuju jika perkara "bau ikan asin" itu berlanjut ke pengadilan sebagai sebuah "perkara penghinaan gender". Saya berharap perkara itu nantinya akan menghasilkan sebuah jurisprudensi yang bisa menjadi pedoman memutus perkara sejenis di kemudian hari.