Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Penghinaan Gender dalam "Bau Ikan Asin"

2 Juli 2019   13:51 Diperbarui: 2 Juli 2019   20:01 1467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi: trubus.id

Di media massa online dan media sosial sedang viral sebuah perkara "bau ikan asin". Ini perkara ujaran seorang mantan suami di Youtube tentang mantan istrinya yang, katanya, "sesuatu"-nya bau ikan asin. Mantan istri merasa dihinakan, tidak terima, lalu mengadukan mantan suaminya kepada polisi, dengan dampingan seorang pengacara yang kondang di lingkungan selebritis.

Saya tidak akan eksplisit mengungkap detil objek dan nama subjek-subjek perkara itu di sini. Untuk menghindari artikel ini jatuh menjadi artikel gosip murahan yang maha-vulgar.

Fokus saya bukan objek perkara itu melainkan kejadiannya, sebagai sebuah kejadian sosial. Dari kacamata sosiologi gender, perkara yang melibatkan mantan suami dan mantan istri itu, saya pahami sebagai sebuah "perkara penghinaan gender". Dalam kasus ini pelecehan (gender) laki-laki terhadap (gender) perempuan.

Orang luar, maksud saya di luar para subjek perkara, mungkin terbagi tiga pandangannya. Satu bagian mungkin setuju perkara itu diteruskan ke pengadilan. Dengan alasan untuk memberi pendidikan etika gender kepada laki-laki.

Satu bagian lagi mungkin tidak setuju jika perkara itu harus sampai ke pengadilan. Barangkali lebih baik diselesaikan secara damai untuk menghindari ekspos aib yang lebih luas di pengadilan nanti.

Sisanya mungkin hanya menganggap perkara itu sebagai akal-akalan para selebritis agar menjadi sorotan publik. Selebritis hidup dari sorotan publik semacam itu, sekalipun dalam soal yang sebenarnya hina, nista, atau rendahan.

Di benak kelompok ketiga ini mungkin muncul pertanyaan, kira-kira bagaimana caranya membuktikan klaim "bau ikan asin" itu di pengadilan nanti. Sebab "barang bukti"-nya, yang katanya "bau ikan asin" itu, harus dibawa ke hadapan hakim, bukan? 

Itu terdengar seperti anekdot istri yang mengadukan suaminya melakukan KDRT dengan mencambuki bokongnya, tapi ketika diminta menunjukkan bukti kekerasan di depan hakim, Si Istri malah bingung (bukankah itu sebenarnya Si Istri "dicambuki" lagi di pengadilan?)

Menjadi tidak bermutu, memang, jika perkara ini fokus pada pembuktian "bau ikan asin". Karena itu sejak awal, materi pengaduan mantan istri itu adalah penghinaan oleh mantan suaminya. Pengacaranya bilang itu merendahkan perempuan.

Saya setuju pada ujaran pengacara itu. Tak perduli siapa sebenarnya orangnya dan bagaimana sepak-terjang sosialnya.

Karena itu saya adalah bagian pertama dari khalayak yang setuju jika perkara "bau ikan asin" itu berlanjut ke pengadilan sebagai sebuah "perkara penghinaan gender". Saya berharap perkara itu nantinya akan menghasilkan sebuah jurisprudensi yang bisa menjadi pedoman memutus perkara sejenis di kemudian hari.

Jurisprudensi semacam itu sangat perlu dalam masyarakat Indonesia yang patriarkis. Sebab dalam masyarakat kita terdapat kecenderungan (gender) laki-laki untuk menghina atau merendahkan (gender) perempuan. Baik merendahkan secara verbal maupun gestural, dengan sasaran psikis maupun fisik, langsung ataupun tidak langsung.

Secara khusus, perkara "bau ikan asin" itu merendahkan gender perempuan karena mengalihragamkannya dari ragam "sosial-budaya" menjadi semata ragam "fisik". Artinya, perempuan di situ tidak dilihat sebagai insan sosial-budaya yang setara dengan laki-laki. Melainkan semata sebagai benda, yang jika aromanya tidak sedap (dan ini subjektif), maka layak untuk dibuang atau disingkirkan. Dalam kasus ini "diceraikan".

Saya kira sangat jelas bahwa perkara "bau ikan asin" ini termasuk kategori penghinaan berat karena menurunkan harkat perempuan dari "insan sosial-budaya" menjadi serendah "benda fisik". Ini mungkin tidak banyak disadari oleh laki-laki yang suka menghina perempuan pada aspek fisiknya, atau sebaliknya oleh perempuan terhadap laki-laki.

Terlalu sering kita mendengar ujaran atau menyaksikan gestur yang merendahkan seperti itu di ruang publik, semisal di tempat kerja, kendaraan umum, jalanan, tempat umum, televisi, dan Youtube. Seolah-olah hal semacam itu lumrah dan, lebih parah lagi, mungkin dianggap sudah menjadi "budaya" bangsa ini.

Laki-laki yang merendahkan perempuan seperti itu seolah kebal hukum. Kecuali dalam kasus-kasus perkosaan atau tindak pelecehan fisik yang vulgar. Tapi kalau melecehkan dengan ujaran semacam "bau ikan asin", dan banyak ujaran yang setara derajat penghinaaannya dengan itu, setahu saya belum pernah ada perkara yang masuk ke pengadilan.

Barangkali ada baiknya jika Komnas Perempuan dan juga aktivis kesetaraan gender satu kata dan aksi untuk mendorong perkara "bau ikan asin" ini naik ke pengadilan. Sudah waktunya "etika gender" ditegakkan dalam masyarakat kita. Sebab selama masih ada pembiaran terhadap penghinaan satu subjek gender terhadap subjek gender lainnya, maka omong kosong saja kita bicara soal kesetaraan gender.

Begitulah pandangan saya, Felix Tani, petani mardijker, yang berkomitmen memperjuangkan kesetaraan gender di sawah.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun