Sebelumnya, sebagai antisipasi, sejak akhir Februari 1942 Belanda sudah memperkuat pertahanan di Porsea. Satu kompi pasukan disiapkan di Vervolg School (Sekolah Dasar), Parparean, persis di ujung selatan jembatan. Patroli digiatkan ke arah utara Porsea. Juga ke arah barat, ke Ulubius, Lumban Manurung, sampai Janjimatogu di teluk yang menjadi pangkal Sungai Asahan.
Pertempuran meletus tanggal 9 Maret 1942, di luar skenario tentara Belanda. Pasukan Jepang tidak menyerang lewat darat. Tapi lewat danau dan sungai yang luput dari pengawasan tentara Belanda.Â
Berdasar kesaksian sejumlah warga Janjimatogu, sekitar pukul 18.00 pada hari itu, ada dua perahu karet memasuki teluk Janjimatogu dan bergerak ke hulu Sungai Asahan.
Sekitar pukul 20.00, menurut kesaksian sejumlah warga di Lumban Manurung, pasukan Jepang mendarat ke tepi sungai dan keluar dari perahu karet. Beberapa orang kemudian berenang ke arah hilir, menyelinap ke bawah jembatan, lalu memotong semua kabel penghubung dinamit ke detonator di Vervolg School Parparean.
Pertempuran antara tentara Belanda dan tentara Jepang pecah sekitar pukul 21.00. Diawali dengan berhentinya seorang petugas patroli bersepeda motor Belanda di mulut jembatan ujung utara.Â
Ketika petugas patroli itu memberi isyarat dengan lampu sepeda motornya kepada tentara Belanda di ujung selatan jembatan, tiba-tiba terdengar letusan senjata api dan sebutir peluru menembus tubuh dan menewaskan petugas tersebut. Serta-merta rentetan letusan tembakan balas-membalas memenuhi udara jembatan Porsea. Peluru-peluru berdesingan menewaskan sejumlah tentara Belanda dan Jepang.
Sejarah mencatat, pertempuran itu dimenangi tentara Jepang. Jembatan Porsea, yang selamat dari peledakan, adalah saksi bisu pertempuran tersebut.
Pada prasasti itu tertulis: "Pada tanggal 9-10 Maret 1942 semasa Perang Dunia Kedua, di tempat ini terjadi pertempuran sengit untuk perebutan jembatan Asahan. Sembilan serdadu keturunan Belanda dan beberapa padukan Jepang terbunuh dan sungai Asahan menjadi tempat kuburannya."
***