Tidak ada inovasi untuk menciptakan bentuk-bentuk kompak (misalnya kubus, bundar, atau bulat) dan kemasan yang lebih menarik (semisal kemasan sereal di supermarket). Padahal tipa-tipa ini bisa menjadi alternatif sarapan sereal untuk anak-anak, dicampur susu murni atau kemasan.
Tapi begitulah. Tidak ada yang punya inisiatif untuk memodernisir proses produksi, pengemadan, dan penjualan tipa-tipa di Porsea. Anak-anak lebih suka jajan "chiki-chikian" yang sarat MSG ketimbang tipa-tipa yang tahan lama dan bergizi. Dulu tipa-tipa itu bekal gerilya dan perantau.
Saya tak hendak menyalahkan proyek-proyek modernisasi yang hanya "melintas" di depan mata orang Porsea. Juga tak hendak menyalahkan Pemda Tobasa dan masyarakat Porsea yang seolah "mati langkah" di hadapan arus modernisasi.
Saya hanya ingin tunjukkan bahwa kota ini sejatinya sedang terjebak dalam stagnasi sosionomi. Terima dulu fakta ini dengan besar hati. Setelah itu baru bicara solusinya.
Berada sekaligus di hulu sungai dan di pantai sebuah danau terindah di Indonesia, serta dilintasi jalan raya Trans-Sumatera yang ramai. Juga menjadi titik-simpul jaringan transportasi darat dan sungai/danau.
Kota ini jelas punya potensi wisata air, alam, dan pertanian serta budaya yang besar. Juga punya potensi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Toba. Baiklah jika solusi difokuskan ke situ. Sehingga kota ini tak hanya menjadi saksi modernisasi tanpa pembangunan untuk selamanya.
Begitu saja catatan dari saya, Felix Tani, petani mardijker, ingin "Porsea na balau" bertransformasi menjadi "Porsea yang warna-warni".***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H