Porsea na BalauÂ
Frasa "Porsea na balau" (Porsea nan biru), seperi disinggung di atas, agaknya menggambarkan secara tepat gejala stagnasi sosionomi di Porsea. Tak banyak yang berubah di sana, jika membabding kondisi tahun 2010-an ini dengan tahun 1980-an. Dulu "balau" sejarang juga masih "balau".
Karena alasan paradigmatik, saya akan jelaskan gejala stagnasi Porsea itu dengan mengungkap tiga fakta kualitatif. (Posisi saya begini. Jika saya sajikan data kuantitatif maka mereka percaya tapi saya tidak. Jika saya sajikan data kualitatif maka saya percaya tapi mereka tidak. Saya pilih menyajikan data yang saya percaya.)
Fakta pertama, pengalaman empirik Poltak yang anekdotal. Tahun 1980, suatu sore, Poltak pamit pergi merantau ke Jawa pada tiga orang sahabat karibnya, Sudung, Binsar dan Domu.
Ketiga temannya itu, seperti kebiasaan mereka, sedang duduk ngobrol di pagar jembatan Porsea. Sambil menunggu matahari terbenam di ufuk barat. "Poltak, jangan lupa kau sama kami kalau sudah sukses di Jawa, ya?" pesan Sudung mewakili teman-temannya.
Lima tahun kemudian, Poltak yang sudah mendapat pekerjaan yang layak di Jawa, pulang ke Porsea. Sore hari pertama di sana dia melintas di jembatan kota itu. Dia sangat terperanjat menyaksikan tiga orang temannya, Sudung, Binsar dan Domu, masih tetap duduk-duduk di pagar jembatan menunggu matahari terbenam. Persis seperti lima tahun lalu, saat dia pamit merantau ke Jawa. "Oii, kalian masih tetap duduk di situ rupanya!" teriak Poltak.
Begitulah. Sudah lima tahun berlalu, teman-teman Poltak yang bertahan di Porsea nyaris tak mengalami kemajuan yang berarti. Mereka tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Kerjanya cuma "mocok-mocok" alias serabutan.
Â
Fakta kedua, kondisi bangunan ruko di kiri dan kanan Jalan Sisingamangaraja, jalan utama atau "etalase" kota Porsea. Dalam 40 tahun terakhir, tak banyak yang berubah pada tampilan bangunan-bangunan itu.
Memang muncul sejumlah bangunan gedung baru berpola "kotak", antara lain hotel (1 unit) dan kantor bank. Tapi secara keseluruhan "etalase" kota ini menampilkan pemandangan yang nyaris tidak berubah dalam empat dekade terakhir.
Bahkan kondisinya cenderung mengenaskan kini. Trotoar makin semrawut diokupasi PKL. Becek dan genangan di jalan sangat mengganggu kenyamanan jika turun hujan lebat, akibat selokan yang tak berfungsi baik. Lengkap sudah kekumuhan kota ini. Cermin dari kondisi ekonomi lamban pertumbuhannya.
Fakta ketiga, produk makanan khas Porsea, tipa-tipa atau sereal emping beras. Tipa-tipa terbuat dari gabah segar atau rendaman yang digongseng lalu ditumbuk dan ditampi untuk membuang kulitnya. Dimakan dengan campuran gula tebu atau aren dan parutan kelapa. Ini khas Porsea sehingga kota ini sebenarnya dikenal juga sebagai kota tipa-tipa.