Pada tahun-tahun pembangunan itu, setiap pagi truk-truk proyek mengangkut buruh dari Porsea ke lokasi proyek pembangunan waduk-waduk tersebut.
Proyek modernisasi ketiga, yang monumental tapi juga penuh kontroversi, adalah pembangunan dan pengoperasian PT Inti Indorayon Utama (IIU), sekarang PT Toba Pulp Lestari (TPL). Perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai Sukanto Tanoto ini berada di Sosorladang, Desa Pamgombusan dulu termasuk Kecamatan Porsea sekarang Kecamatan Parmaksian (pemekaran 2008).
Akar konflik adalah dampak lingkungan TPL, baik terhadap lingkungan fisik (alam Toba) maupun sosial-ekonomi (masyarakat Batak), yang bersifat negatif. Semisal pencemaran udara (bau uap khlorin), pencemaran air sungai Asahan, kerusakan lingkungan (longsor), penggundulan hutan alam, dan monokultur eukaliptus (HTI) serta penggunaan tanah ulayat (untuk HTI).
Konflik tersebut tidak saja menyebabkan kerugian materil dan korban jiwa tapi, lebih penting dari itu, ia menyebabkan disintegrasi dan disharmoni sosial dalam masyarakat Batak. Semisal perpecahan kekerabatan, antara pihak "marga raja" (hulahula) dan "marga penumpang" (boru) di suatu huta (kampung). Kohesi sosial melonggar, begitupun modal sosial "kepercayaan" (social trust).
Ini kerugian besar karena melemahkan inisiatif lokal (asli) dalam proses pembangunan. Separuh masyarakat bersikap antipati atau sekurangnya apatis terhadap proyek modernisasi, sebagaimana direpresentasikan TPL. Dampak logisnya, bagi kelompok sosial tersebut, modernisasi tak membawa peningkatan kemakmuran.
Proyek modernisasi berwujud TPL itu, lepas dari konflik yang terjadi, memang membuka peluang kerja buruh proyek pada awalnya, lalu kemudian karyawan lapis bawah ketika pabrik sudah operasional. Ditambah eksternalitas, berupa peluang usaha dan kerja di bidang bisnis pendukung kelangsungan pabrik. Tapi itu sifatnya terbatas dan tak hanya berlaku untuk orang Porsea saja. Itu berlaku untuk semua orang Batak di kabupaten-kabupaten lingkar Danau Toba.
Komplek TPL di Sosorladang, Pangombusan itu kini cenderung berkembang menjadi prototipe "kota mandiri". Semacam "koloni(sasi)" yang eksklusif di sana. Sehingga dampak langsung kehadiran TPL yang sangat modern itu bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Porsea tidaklah signifikan.
Memang ada program-program tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) dari TPL. Tapi program semacam itu tidaklah sistematis dan fundamental.
Boleh dikatakan, kehadiran TPL di Sosorladang itu merupakan "monumen termegah" untuk menandai gejala "modernisasi tanpa pembangunan" di Porsea. Porsea lebih sebagai saksi modernisasi saja, bukan penerima manfaat yang signifikan.