Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Porsea, Saksi Modernisasi tanpa Pembangunan di Tanah Batak

11 Juni 2019   11:00 Diperbarui: 13 Juni 2019   00:56 4535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan Porsea, 2018 (Foto: infopublik.id)

Pada tahun-tahun pembangunan itu, setiap pagi truk-truk proyek mengangkut buruh dari Porsea ke lokasi proyek pembangunan waduk-waduk tersebut.

Bendungan Air Terjun Siguragura (Foto: esdm.go.id)
Bendungan Air Terjun Siguragura (Foto: esdm.go.id)
Tapi sebatas itu saja. Setelah proyek berakhir tahun 1981, dan PLTA Asahan beroperasi, berakhir pula manfaatnya untuk warga Porsea. Sebesar 603 MW tenaga listrik yang dihasilkan dari tenaga air Siguragura dan Tangga sepenuhnya ditransmisikan ke Kuala Tanjung, Asahan untuk memasok kebutuhan listrik pabrik peleburan aluminium PT Inalum. Sementara listrik Porsea masih tetap tergantung pada pasokan daya terbatas dari PLN.

Proyek modernisasi ketiga, yang monumental tapi juga penuh kontroversi, adalah pembangunan dan pengoperasian PT Inti Indorayon Utama (IIU), sekarang PT Toba Pulp Lestari (TPL). Perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai Sukanto Tanoto ini berada di Sosorladang, Desa Pamgombusan dulu termasuk Kecamatan Porsea sekarang Kecamatan Parmaksian (pemekaran 2008).

Kawasan PT Toba Pulp Lestari di Sosorladang-Pangombusan (Foto: bisnis.com)
Kawasan PT Toba Pulp Lestari di Sosorladang-Pangombusan (Foto: bisnis.com)
Sejarah TPL, sejak proses perijinan (1983) sampai awal pengoperasiannya (1987), hingga sekarang, adalah sejarah konflik sosial di Tanah Batak, khususnya Porsea dan sekitarnya, yang menjadi isu nasional bahkan dunia. Konflik terjadi antar kelompok sosial hulahula vs boru terkait tanah HTI, pro-TPL vs kontra-TPL, dan rakyat vs aparat.

Akar konflik adalah dampak lingkungan TPL, baik terhadap lingkungan fisik (alam Toba) maupun sosial-ekonomi (masyarakat Batak), yang bersifat negatif. Semisal pencemaran udara (bau uap khlorin), pencemaran air sungai Asahan, kerusakan lingkungan (longsor), penggundulan hutan alam, dan monokultur eukaliptus (HTI) serta penggunaan tanah ulayat (untuk HTI).

Konflik tersebut tidak saja menyebabkan kerugian materil dan korban jiwa tapi, lebih penting dari itu, ia menyebabkan disintegrasi dan disharmoni sosial dalam masyarakat Batak. Semisal perpecahan kekerabatan, antara pihak "marga raja" (hulahula) dan "marga penumpang" (boru) di suatu huta (kampung). Kohesi sosial melonggar, begitupun modal sosial "kepercayaan" (social trust).

Ini kerugian besar karena melemahkan inisiatif lokal (asli) dalam proses pembangunan. Separuh masyarakat bersikap antipati atau sekurangnya apatis terhadap proyek modernisasi, sebagaimana direpresentasikan TPL. Dampak logisnya, bagi kelompok sosial tersebut, modernisasi tak membawa peningkatan kemakmuran.

Proyek modernisasi berwujud TPL itu, lepas dari konflik yang terjadi, memang membuka peluang kerja buruh proyek pada awalnya, lalu kemudian karyawan lapis bawah ketika pabrik sudah operasional. Ditambah eksternalitas, berupa peluang usaha dan kerja di bidang bisnis pendukung kelangsungan pabrik. Tapi itu sifatnya terbatas dan tak hanya berlaku untuk orang Porsea saja. Itu berlaku untuk semua orang Batak di kabupaten-kabupaten lingkar Danau Toba.

Komplek TPL di Sosorladang, Pangombusan itu kini cenderung berkembang menjadi prototipe "kota mandiri". Semacam "koloni(sasi)" yang eksklusif di sana. Sehingga dampak langsung kehadiran TPL yang sangat modern itu bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Porsea tidaklah signifikan.

Memang ada program-program tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) dari TPL. Tapi program semacam itu tidaklah sistematis dan fundamental.

Boleh dikatakan, kehadiran TPL di Sosorladang itu merupakan "monumen termegah" untuk menandai gejala "modernisasi tanpa pembangunan" di Porsea. Porsea lebih sebagai saksi modernisasi saja, bukan penerima manfaat yang signifikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun