Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pak Anies, Siapakah Presidenmu?

29 Mei 2019   14:15 Diperbarui: 29 Mei 2019   14:22 3850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi Melantik Anies Baswedan sebagai Gubernur Jakarta 2017-2022 pada 16 Oktober 2017 (Foto: Setneg)

Pertanyaan "Siapakah Presidenmu?" penting diajukan kepada Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta (2017-2022).   Sebab sejumlah pikiran, perkataaan, dan perbuatannya selaku Gubernur ada yang bersifat oposisional terhadap Presiden Joko Widodo.  Memberi pesan bahwa  Anies itu "Gubernur Oposisi", bukan bawahan dan perpanjangan tangan Pemerintah Pusat di Daerah Propinsi.  Sehingga Mendagri Tjahyo Kumolo secara eufemistik pernah menyebutnya "Gubernur Indonesia" ("Mendagri: Anies Baswedan adalah Gubernur Indonesia", kontan.co.id, 2/7/18).

Sikap oposisional Gubernur Anies kepada Presiden Jokowi itu memang bukan sejak kemarin.   Tapi sudah sejak  dia terpilih menjadi Gubernur Jakarta  pada April 2017.  

Sikap oposisional pertama adalah kitiknya pada jargon "Saya Indonesia, Saya Pancasila", yang diperkenalkan Presiden Jokowi lewat akun instagramnya pada 26 Mei 2017.   Slogan ini diciptakan dalam rangka Pekan Pancasila 2017 yang berlangsung tanggal 29 Mei-4 Juni 2017, menyambut Hari kelahiran Pancasila 1 Juni.

Belum juga dilantik menjadi Gubernur, Anies sudah langsung lantang mengritik slogan itu sebagai "kurang tepat".  "Kalau pakai kata 'saya", akan timbul pertanyaan, lalu Anda siapa?" katanya.  Menurutnya yang tepat adalah "Kita Indonesia, Kita Pancasila".  Alasannya, "Kalau (pakai kata) 'kita', cenderung bersama-sama dan saling merangkul" ("Anies Kritik Kalimat 'Saya Indonesia Saya Pancasila'", kumparan.com, 3/6/2017).

Bukan soal substansi (yang bisa diperdebatkan), tapi soal etika Gubernur sebagai bawahan Presiden.  Apakah sepantasnya seorang Gubernur mengritik langsung Presiden yang menjadi atasannya di ruang publik?  Sikap Anies seperti itu mengesankan bahwa Jokowi itu bukan Presiden yang menjadi atasannya, sehingga sah-sah saja untuk dikritik secara terbuka.  Anies seolah menempatkan dirinya "Gubernur Pemerintahan Oposisi", atau setidaknya sebagai seorang Direktur LSM.

Terkait "ujaran kritis", Anies memang punya pandangan sendiri yang implisit juga mengritik (pemerintahan) Jokowi.  Baru-baru ini, terkait adanya petisi agar Presiden/Mendagri memecat Anies sebagai Gubernur Jakarta,  Anies berujar di luar konteks, "Saya tak tangkap orang yang kritik saya." (detiknews.com, 26/5/19).  

Implisit Anies seakan mau bilang "Tidak seperti Jokowi, saya tak tangkap orang yang kritik saya."  Nawaitunya, jika demikian adanya, tidaklah etis.  Belum lagi soal substansi. Sebab sejauh ini orang yang ditangkap bukan pengritik Jokowi, melainkan penghujat, pemfitnah, penista, dan pengancam Jokowi dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI.  Tak bisa atau tak sudikah Anies membedakannya?

Sikap oposisional yang paling tajam adalah langkah Anies mencabut ijin proyek pembangunan 13 pulau reklamasi di Teluk  Jakarta tanggal 26 September 2018 ("Anies Baswedan Cabut Izin 13 Pulau Reklamasi, Bagaimana 4 Sisanya", tempo.co, 26/92018).   Tindakan ini "melawan"  sikap Pemerintah Pusat yang diwakili Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan.   Artinya,  Anies selaku Gubernur "menolak" koordinasi pembangunan dengan Jokowi selaku Presiden.   Seharusnya program pembangunan oleh Pemerintah Pusat dan Pemda tidak boleh bertentangan.  Lagi, Anies beroposisi pada Jokowi.

Ketidak-serasian program "pusat-daerah" itu juga terjadi dalam hal sistem pelayanan terpadu bidang perijinan.   Menko Perekonomian Darmin Nasution mengritik sistem perijinan digital yang diluncurkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu pintu Provinsi DKI Jakarta (JakEVO) ternyata tumpang-tindih dengan sistem OSS (Online Single Submission) milik Pemerintah Pusat ("Darmin Nasution Khawatir Sistem JakEvo Tumpang Tindih dengan OSS", tempo.co, 12/3/2019).  Menanggapi Darmin, di Istana, Anies bilang bahwa OSS itu bermasalah sehingga tak bisa diterapkan sepenuhnya di DKI Jakarta ("Di Istana, Anies Kritik Sistem Perizinan "Online" Pemerintah Pusat", Kompas.com, 13/03/2019).   Seolah-olah Jakarta itu bukan bagian dari Indonesia, jadi beda sendiri.

Soal banjir di Jakarta, Anies juga mengritik Pemerintah Pusat.  Menurutnya, banjir di Jakarta merupakan banjir kiriman yang terjadi karena pembangunan waduk kering oleh Pemerintah Pusat belum selesai ("Solusi Tuntaskan Banjir Jakarta ala Anies: Buat Waduk!", CNBC Indonesia, 26/4/19).  Anies lebih memilih menyoroti pekerjaan Pemerintah Pusat ketimbang mengevaluasi program penagggulangan banjir yang dilakukan Pemprov Jakarta. 

Kritik terbaru adalah pernyataan Anies soal "negara hadir" dalam peristiwa kerusuhan 21-22 Mei 2019 di Jakarta.  Menurut Anies, langkahnya mengumumkan jumlah korban tewas kerusuhan pada kesempatan pertama, membesuk korban kerusuhan di rumah sakit, melayat dan mengangkat keranda korban kerusuhan, membantu petugas membersihkan jalan di depan Gedung Bawaslu, dan lain-lain. ("Anies Bandingkan Kerusuhan 1998 dengan Aksi 22 Mei", CNN Indonesia, 25/5/2019).

Menurut Anies, tindakannya itu adalah pernyataan "negara hadir" dalam peritiwa kerusuhan untuk memberi perhatian dan membangun ketenangan.  Tidak seperti pada Kerusuhan Mei 1988, ketika negara tidak hadir sama sekali. 

Ada kritik pada Anies yang "setengah menuduh" bahwa Anies dengan tindakannya itu justeru menjadi "juru bicara" kelompok perusuh.  Lebih peduli pada perusuh yang bukan warga Jakarta, dan massa pendemo yang merupakan Pendukung Prabowo-Sandi, ketimbang rakyat Jakarta yang sempat kehilangan rasa aman dan bahkan harta-bendanya akibat kerusuhan 21-22 Mei 2019 itu. 

Kepedulian pada warga yang merugi akibat kerusuhan itu kemudian ditunjukkan oleh Jokowi dengan mengundang dua orang pedagang korban kerusuhan yang dagangannya dijarah perusuh ("Jokowi Terima Dua Pedagang Korban Kerusuhan 22 Mei", tempo.co, 24/5/2019).  Ini seolah kritik Jokowi kepada Anies tentang bagaimana selayaknya seorang Gubernur bersikap dan bertindak.

Klaim "negara hadir" dari Anies jelas bisa diperdebatkan.   Jika dia bilang negara tidak hadir pada kerusuhan Mei 1998, maka itu dalih yang tak relevan.  Konteks politik kerusuhan Mei 1998 adalah "rakyat" berhadapan dengan "negara".  Jadi tak relevan bicara soal kehadiran negara waktu itu itu. Pada kerusuhan 21-22 Mei 2019, negara sudah hadir sebagaimana direpresentasikan oleh Polri dan TNI serta akses ke rumah sakit.  Karena yang dihadapi pada 21-22 Mei 2019 itu bukan respresentasi rakyat Indonesia, tetapi sekelompok perusuh yang diduga digerakkan oleh sebuah kekuatan "anti-Jokowi" dengan tujuan politik tertentu.   

Jika kemudian Anies bilang kehadirannya di tengah kelompok perusuh yang menjadi korban itu sebagai representasi "negara hadir", maka pantaslah dipertanyakan "negara" manakah yang direpresentasikan Anies?   Apakah negara yang dipimpin Presiden Jokowi, atau "negara" yang dipimpin oleh "presiden lain"?   Sangat absurd jika seorang Gubernur Anies lebih perhatian kepada perusuh yang patut diduga berkait dengan upaya menjatuhkan Presiden Jokowi.   Bukannya pertama-tama berterimakasih kepada Polri dan TNI yang telah berhasil mengamankan Jakarta dari "pengulangan tragedi Mei 1998".  

Maka selayaknyalah ditanyakan kini kepada Anies Baswedan, "Siapakah Presidenmu?"  Mengapa selama ini pikiran, perkataan, dan tindakan Anies Baswedan kerap "bertentangan" dengan Jokowi?   Bahkan dalam kasus 21-22 Mei 2019, Anies seolah mau bilang, "Lihat, saya Anies hadir di tengah kerusuhan, Jokowi kemana aja?"   Lupa bahwa Jokowi telah hadir di sana dalam bentuk kehadiran kolaboratif Polri dan TNI. Apakah Anies ingin Jokowi hadir di sana dan sebongkah batu mungkin akan mendarat di kepala Presiden?

Saya kira, Anies Baswedan perlu lebih introspeksi.  Perlu lebih menerima fakta bahwa Jokowi adalah Presidennya, sekaligus atasannya sebagai pemerintah.   Karena itu Anies perlu membangun hubungan yang lebih serasi dengan Jokowi, dalam kapasitas hubungan Gubernur-Presiden.  Tanpa keserasian itu, pemerintahan Anies di Jakarta tidak akan efektif.   Janjinya mewujudkan Jakarta yang "Maju Kotanya Bahagia Warganya" pada tahun 2022 hanya akan menjadi "omong kosong terbesar sepanjang sejarah Jakarta".

Demikianlah catatan saya, Felix Tani, petani mardijker, terkadang merasa perlu bersikap seperti para Punakawan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun