"Penyakit" sungai di sektor tengah sampai hilir, ditandai penyempitan lebar badan sungai akibat pembangunan tembok penahan tanah (talut) dalam rangka okupasi. Dasar sungai yang mendangkal akibat endapan lumpur dan limbah padat. Serta aliran air melambat akibat hempangan sampah yang dibuang warga dan pelaku industri ke selokan dan badan sungai.
Di sektor hilir, di daerah Jakarta, kawasan rawa dan bakau di muara yang semestinya berfungsi sebagai daerah tangkapan air telah habis ditimbun untuk pemukiman (termasuk pemukiman mewah), perkantoran dan niaga. Ini memperparah "sakit"-nya sungai-sungai di Jakarta.
Implikasi hilangnya "badan air dan DAS" dari solusi banjir Jakarta menurut Pak Anies itu, pertama, adalah hilangnya rencana "naturalisasi sungai" yang pernah dicanangkannya. Untuk diketahui, istilah "naturalisasi sungai" ini sejatinya setali tiga uang dengan "normalisasi sungai" yang telah intensif dilakukan Pemerintah Jakarta sebelumnya.
Bisa diduga hilangnya "naturalisasi sungai" itu bukan tanpa alasan. Dengan tak menyebut solusi itu, Pak Anies telah mengamankan salah satu janji kampanyenya yaitu "mengatasi banjir tanpa menggusur". Sebab "naturalisasi sungai", tidak bisa tidak, akan berimplikasi pelebaran badan sungai (seperti sedia kala) dan pembebasan bantaran sungai dari segala rupa bangunan. Tak bisa lain, itu berarti penggusuran rumah dan bangunan komersil sepanjang bantaran.
Implikasi kedua dari hilangnya penanganan "badan air dan DAS" adalah peniadaan upaya konservasi lingkungan DAS, khususnya DTA di daerah hulu khususnya Kabupaten Bogor dan Tangerang. Sebab penyempitan DTA di hulu, juga penggundulan tutupan hijau, telah meningkatkan aliran permukaan (run off) air hujan. Ini salah satu penyebab utama "banjir kiriman".
Artinya, jika Jakarta tak ingin mendapat "banjir kiriman", maka pemerintahnya harus membayar dalam bentuk dana hibah kepada Pemda daerah penyangga yaitu Bogor dan Tangerang. Dana itu untuk sebagian mesti digunakan untuk konservasi DAS/DTA.
Sebagian lagi, sebagai kompensasi pendapatan asli daerah, bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur pengendali sumber banjir dan kemacetan Jakarta di daerah Bogor dan Tangerang.
Sebenarnya Pemda Jakarta sudah menyetujui alokasi dana hibah pembangunan tahun 2019 untuk daerah-daerah penyangga. Khususnya Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten Tangerang.
Namun penggunaan dana itu ternyata antara lain hanya untuk revitalisasi situ (Depok) dan pembangunan talut sungai (Tangerang). Serta untuk pengadaan jaring apung sampah dan pembangunan sumur resapan (Bogor). Tidak ada alokasi anggaran khusus untuk konservasi DAS/DTA.
***
Lantas bagaimana implementasi tiga solusi banjir yang disampaikan Pak Anies dan bagaimana peran Pemda Jakarta dalam praktiknya?