Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dari Debat Cawapres: Mustahil Pengukuran Diganti Penjurusan

19 Maret 2019   15:28 Diperbarui: 19 Maret 2019   16:14 952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki arena Debat Capres ataupun Debat Cawapres, masing-masing peserta tidak saja  harus siap dengan data.  Tapi juga, dan ini sangat penting, harus siap dengan konsep.

Salah data, bisa dikoreksi, atau berkelit sedikit jika tak sudi dikoreksi.  Salah konsep bisa fatal akibatnya karena, jika diterapkan, niscaya akan keluar dari rel lalu  tiba di tujuan yang beda sama sekali.  Atau malahan gagal total, karena tidak aplikabel.

Dalam Debat Cawapres hari Minggu, malam, yang lalu (17/3/19), Pak Sandiaga menyampaikan janji penghapusan sistem Ujian Nasional (UN)  untuk kemudian diganti dengan sistem  penelusuran minat dan bakat (PMB).

Ada yang tak konsisten antara dua janji itu.  Karena UN tidak satu "spesies" dengan  PMB, sehingga satu sama lain bukan substitusi.

Nanti akan saya jelaskan.  Sebelum ke situ, untuk mendapatkan pemahaman awal, baiklah menyimak satu anekdot berikut lebih dahulu.

***

Pada suatu rapat persiapan kenaikan kelas di sebuah Sekolah Dasar di Tapanuli, Kepala Sekolah bertanya kepada Wali Kelas 4.

"Bu Rugun, berapa persen perikiraan jumlah murid di Kelas 4 yang gagal naik ke Kelas  5?"

"Hanya 5 persen, Pak Kepsek.   Dua dari empatpuluh orang murid," jawab Bu Rugun.

"Bagus.  Tidak masalah kalau hanya 5 persen," sambut Pak Kepsek, puas.

"Masalah, Pak Kepsek," tukas Bu Rugun.

"Masalahnya apa?" Pak Kepsek bertanya keheranan.

"Masalahnya, satu dari dua orang itu anak Pak Kepsek," Bu Rugun menjawab dengan suara tercekat.

"Hah?  Bagaimana bisa!"  Pak Kepsek langsung meradang.  Rona wajahnya memerah bak kepiting rebus.

"Begini, Pak Kepsek," Bu Rugun menjelaskan.  "Poltak, anak bapak itu, keranjingan sepakbola.  Di kelas waktu pelajaran kerjanya main game sepakbola.  Kalau gadgednya disita, dia akan mengambar orang main sepakbola sepanjang pelajaran. Akibatnya ..."

"Baiklah, Bu Rugun," potong Pak Kepsek.   "Semua ini salah pemerintah.  Harusnya peminatan dan penjurusan sudah dilakukan sejak SD."

"Coba ada SD Sepakbola, pasti anak saya naik kelas terus.  Prestasi sepakbola bangsa ini juga pasti akan mendunia."  Pak Kepsek menyesali kebijakan pemerintah.

Begitulah.  Menurut Pak Kepsek, ujian kenaikan kelas sebagai pengukuran kelayakan naik kelas itu salah. Tidak berkeadilan.   Harusnya sejak awal sudah ada penjurusan.  Agar anaknya tidak gagal naik kelas.

***

Sekarang kembali ke Debat Cawapres antara Maruf Amin dan Sandiaga Uno hari Minggu malam yang lalu.

Tapi sebelum itu, perlu dibayangkan dulu satu momen dialog antara Pak Sandiaga dengan Salsabila Umar, siswa asal Pamekasan, Madura.

 "Pelajaran sekolah berat sekali, Pak.  Kurikulumnya berat.  Lebay.  Kebanyakan mata pelajaran. Padahal Salsa banyak gak suka mata pelajarannya.  Belum tentu juga kepake ntar pas kerja," kira-kira begitu mungkin keluhan Salsabila Umar kepada Pak Sandiaga.

"Oke.  Terimakasih Ananda Salsabila.  Masukannya bagus sekali," mungkin begitu kata Pak Sandiaga.  Sambil terpikir bahwa keluhan Salsabila itu bisa menjadi amunisi untuk menembak kurikulum sekolah yang dinilai para murid sangat berat dan lebay. 

Tapi harus ditentukan titik bidik strategis, untuk meraih simpati khalayak murid yang sudah punya hak pilih dan orangtua mereka, tentu saja.

Nah, ketemu.  Titik bidiknya Ujian Nasional (UN).  Hapuskan Ujian Nasional!  Ini isu seksi, bukan.  Milenial  dan orangtuanya yang ogah ribet itu pasti bersuka-ria jika UN dihapuskan.

Maka, tibalah saat paling strategis untuk menyampaikan isu kampanye "Hapuskan UN".  Yaitu pada Debat Cawapres, saat berhadapan dengan Pak Maruf Amin. 

"Kurikulum," kata Pak Sandiaga lantang,  "Ananda Salsabila Umar di Pamekasan, mengatakan kurikulum kita terlalu berat dan banyak sekali mata pelajaran tidak diminati dan tidak akan pernah dia pakai."

"Karena itu," lanjutnya, "kami  akan menghapus ujian nasional. Ini adalah salah satu sumber biaya yang tinggi bagi sistem pendidikan kita. Ini pemborosan. Juga  tidak berkeadilan. Karena sistem pendidikan kota tidak sama di setiap wilayah."

Nah, kalau UN dihapuskan, tentu harus ada gantinya, bukan?  Jangan khawatir, Pak Sandiaga sudah siap dengan solusinya.

"Kita akan ganti Ujian Nasional dengan penelusuran minat dan bakat," katanya memberi solusi. "Itu lebih cocok dan aplikatif kepada peserta didik.  Mereka akan diarahkan ke mana minatnya,  ekonomi kreatif atau apa pun sesuai kemampuannya."

***

Bukankah isu penghapusan UN dan mengantinya dengan PMB alias Penelusuran Minat dan Bakat itu terdengar indah?  

Siswa tak perlu repot UN.  Langsung ikut jalur PMB. Setelah itu naik kelas terus, dan langsung kerja setelah lulus. 

Karena Pak Sandiaga juga sudah siap dengan solusi "link and match" antara dunia pendidikan dan dunia kerja (usaha/industri).

Tentu saja tawaran Pak Sandiaga  sangat seksi menggoda.  Tapi barang siapapun yang langsung terpikat pada gagasan itu, kepadanya harus diingatkan agar berpikir ulang lagi.

Dengan sedikit "akal sehat",  maka akan jelas tampak inkonsistensi pada tawaran-tawaran Pak Sandiaga itu.

Begini.  Ujian Nasional adalah instrumen pengukuran kinerja siswa dan sekolah secara nasional.  Untuk melihat ketimpangan layanan pendidikan antar klasififikasi sekolah (negeri dan swasta) dan antardaerah.  

Atas dasar hasil UN itu kemudian bisa dirumuskan dan dilakukan solusi pemerataan layanan pendidikan.

Penelusuran Minat dan Bakat (PMB) adalah instrumen penjurusan siswa pada bidang-bidang kekhususan.  Targetnya menghasilkan lulusan-lulusan yang fokus pada kompetensi sesuai minat dan bakatnya.

Seandainya PMB dijalankan sebagai kebijakan nasional, tetaplah harus ada instrumen pengukuran kinerja siswa dan sekolah secara nasional. Semacam UN atau apapun namanya.  Sebab harus diukur ketimpangan kinerja antar siswa, sekolah, dan daerah, untuk bidang-bidang minat atau keahlian tertentu, sehingga bisa dirumuskan solusi pemerataan.

Jadi, bisa dikatakan, isu penghapusan UN dan penggantiannya dengan PMB itu tidak konsisten. Sebab "pengukuran" tak akan pernah bisa digantikan oleh "penjurusan".  Keduanya adalah "spesies" yang beda.

Gampangnya, untuk mengukur tinggi badan,  kita menggunakan "meteran", bukan?  Atau, adakah di antara kita yang pernah menggunakan "kompas"?

Begitu saja dari saya, Felix Tani, petani mardijker,  tidak pernah mengganti pH-meter (alat ukur pH tanah) dengan Anemometer (alat ukur kecepatan dan arah angin).***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun