"Masalahnya apa?" Pak Kepsek bertanya keheranan.
"Masalahnya, satu dari dua orang itu anak Pak Kepsek," Bu Rugun menjawab dengan suara tercekat.
"Hah? Â Bagaimana bisa!" Â Pak Kepsek langsung meradang. Â Rona wajahnya memerah bak kepiting rebus.
"Begini, Pak Kepsek," Bu Rugun menjelaskan. Â "Poltak, anak bapak itu, keranjingan sepakbola. Â Di kelas waktu pelajaran kerjanya main game sepakbola. Â Kalau gadgednya disita, dia akan mengambar orang main sepakbola sepanjang pelajaran. Akibatnya ..."
"Baiklah, Bu Rugun," potong Pak Kepsek. Â "Semua ini salah pemerintah. Â Harusnya peminatan dan penjurusan sudah dilakukan sejak SD."
"Coba ada SD Sepakbola, pasti anak saya naik kelas terus. Â Prestasi sepakbola bangsa ini juga pasti akan mendunia." Â Pak Kepsek menyesali kebijakan pemerintah.
Begitulah. Â Menurut Pak Kepsek, ujian kenaikan kelas sebagai pengukuran kelayakan naik kelas itu salah. Tidak berkeadilan. Â Harusnya sejak awal sudah ada penjurusan. Â Agar anaknya tidak gagal naik kelas.
***
Sekarang kembali ke Debat Cawapres antara Maruf Amin dan Sandiaga Uno hari Minggu malam yang lalu.
Tapi sebelum itu, perlu dibayangkan dulu satu momen dialog antara Pak Sandiaga dengan Salsabila Umar, siswa asal Pamekasan, Madura.
 "Pelajaran sekolah berat sekali, Pak.  Kurikulumnya berat.  Lebay.  Kebanyakan mata pelajaran. Padahal Salsa banyak gak suka mata pelajarannya.  Belum tentu juga kepake ntar pas kerja," kira-kira begitu mungkin keluhan Salsabila Umar kepada Pak Sandiaga.