Budaya Batak itu kocak. Bukan hanya cara hidup orang Batak yang dituntunnya, tapi juga cara mereka mati.
Tepatnya budaya Batak ternyata merumuskan cara mati mulai dari yang "paling tidak diidamkan" sampai yang "paling diidamkan".
Dalam praktiknya, orang Batak kemudian selalu berdoa kepada Ompung Mula Jadi Na Bolon, Tuhan Awal dan Akhir yang Maha Besar, agar terhindar dari musibah "kematian yang paling tidak diidamkan", dan semoga dikarunia "kematian yang paling diidamkan".
Jadi, jika orang Batak berdoa pada Tuhan minta usianya dipanjangkan, maka intensinya adalah semoga tiba pada "kematian yang paling diidamkan".
Baca juga : Orang Batak Tidak Makan Babi
Maka orang Batak kemudian merencanakan dan menjalankan kehidupannya untuk meraih tujuan kematian yang paling diidamkan itu.
Jadi, coba dipikirlah, apakah tidak kocak jika suatu budaya menuntun pemangkunya untuk merancang suatu cara mati terbaik dan terindah baginya?
***
Budaya Batak merumuskan sejumlah jenis kematian, mulai dari status usia janin sampai usia tua, dari yang paling tidak diharapkan sampai yang paling diidamkan.
Baca juga : Orang Batak Minum Tuak Bukan untuk Mabuk
Sejatinya kematian memang tak pernah diharapkan, kendati sudah diterima sebagai suatu kepastian bagi orang hidup. Tapi budaya Batak membantu pemangkunya untuk merumuskan "kepastian kematian" itu baginya.
Bagi orang Batak, kematian yang paling tidak diinginkan adalah ragam jenis kematian yang menjemput sebelum menikah. Mulai dari kematian dalam kandungan (mate di bortian), kematian saat bayi (mate poso-poso), kematian usia kanak-kanak (mate dakdanak), kematian usia remaja (mate bulung; bulung = daun hijau), dan kematian usia dewasa tapi belum menikah (mate ponggol; ponggol = patah).
Tidak ada upacara adat untuk orang Batak yang mengalami kematian seperti itu. Kecuali bahwa tulang (paman, saudara lelaki ibu) akan menutupkan sehelai ulos pada jenazah bere-nya (keponakan). Begitu saja, cara mati yang tak hendak dikenang.
Baca juga : Poltak Bukan Orang Batak?
Tapi tipe kematian kelompok kedua, mati setelah menikah, tidak dengan sendirinya juga diinginkan atau diharapkan. (Ya, siapa pula sebenarnya berharap mati?)
Tiga jenis kematian setelah menikah berikut ini jauh dari doa orang Batak. Pertama, mate punu, meninggal dunia saat belum dikaruniai keturunan. Kedua, mate mangkar, meninggal ketika sudah dikaruniai anak, tetapi anaknya belum ada yang menikah. Ketiga, mate hatungganeon, meninggal ketika sudah ada anaknya menikah tapi belum memberikan cucu untuknya.
Dari tiga jenis kematian itu, mate punu-lah yang paling tidak diharapkan orang Batak. Alasannya, pertama, mate punu adalah cacat sosial karena tidak pernah mencapai hagabeon (banyak keturunan), sehingga dengan demikian juga tak mencapai hasangapon (kehormatan, kemuliaan).
Kedua, dalam kepercayaan lama orang Batak, orang yang mate punu akan ditempatkan di tempat terpencil di akhirat. Di tempat dia akan kesepian seperti semasa hidupnya.
Dua alasan ini untuk sebagian menjelaskan mengapa orang Batak sangat mengharapkan adanya keturunan sebagai hasil perkawinan. Perkawinan tanpa keturunan dipandang sebagai "kegagalan sosial".
Jenis kematian yang diidamkan orang Batak adalah sari matua dan, lebih tinggi lagi, saur matua. Itulah jenis-jenis kematian pada usia tua, ketika seseorang sudah bisa disebut mencapai tiga tujuan hidup orang Batak yaitu hamoraon, hagabeon, hasangapon (banyak harta, banyak keturunan, terhormat).
***
Pada saat upacara pernikahan adat (mangadathon), pihak hula-hula (pemberi istri, termasuk orangtua mempelai perempuan) pasti akan menyampaikan doa dalam bentuk syair (umpasa) berikut:
"Andor hadukka togu-togu ni lombu, andor hatiti togu-togu ni horbo. Saur matua ma hamu pairing-iring pahompu, sahat hu namarnini sahat hu na marnono." Artinya: "Batang merambat jadikan tali penuntun lembu, batang menjalar jadikan tali penuntun kerbau; Semoga kalian berdua panjang umur mengiring banyak cucu dan cicit."
Itu adalah doa agar pasutri baru itu panjang umur hingga saur matua, tiba pada tingkatan kematian yang diidamkan orang Batak.
Tapi mencapai tingkatan saur matua bukanlah soal mudah. Karena mempersyaratkan setidaknya semua anak telah menikah dan memberikan cucu.
Tingkat kesukarannya begini. Jika seseorang menikah pada usia 20 tahun, lalu punya lima orang anak, setidaknya dia perlu mencapai usia 65 tahun untuk mendapatkan cucu dari semua anaknya. Dengan begitu baru bisa diakui saur matua.
Jika dia mengidamkan status saur matua yang lebih tinggi, yaitu saur matua bulung, maka dia perlu setidaknya mencapai usia 85 tahun. Agar mendapatkan cicit dari cucunya yang sudah berkeluarga, sebagai syarat untuk jenis kematian seperti itu.
Lebih tinggi dan lebih sukar lagi adalah saur matua mauli bulung. Ini jenis kematian saur matua bulung, tapi dengan syarat tidak ada keturunannya yang mendahului kematiannya. Ini adalah kualitas kematian paling tinggi, paling mulia, dan sekaligus paling langka.
Sadar betapa sukar mencapai status kematian saur matua, apalagi saur matua mauli bulung, maka orang Batak bersikap realistis. Dalam doa lalu dimohonkan pada Tuhan, agar setidaknya diberi usia sampai taraf sari matua, setingkat di bawah saur matua.
Pada tingkatan sari matua, tidak perlu harus beroleh cucu dari semua anak, dan tidak perlu juga semua anak sudah menikah. Yang penting sudah ada anak menikah dan memberikan cucu.
Kematian sari matua akan dipestakan secara adat, lengkap dengan tabuhan Gondang Batak. Semua unsur Dalihan Na Tolu (hula-hula, dongan tubu, boru) wajib hukumnya manortor, menari. Pesta adat semacam itu lazimnya berlangsung selama tiga hari.
Mungkin sikap realistis tadi pula yang menuntun Nahum Situmorang dahulu menggubah lagu Na Sonang Do Hita Na Dua (Bahagia Kita Berdua). Penggalan syairnya: "Na sonang do hita na dua, saleleng ahu rap dohot ho. Nang ro di na sari matua, sai tong ingotonhu do ho." Artinya: Bahagia kita berdua, selama aku tetap bersamamu. Hingga kelak sari matua, engkau tetap dalam ingatanku.
***
Ikhwal kematian sari matua dan saur matua itu dalam praktiknya dapat lebih dipahami pada kasus kematian kakek dan nenek Si Poltak di Desa Panatapan, Tanah Batak sana.
Kakek Poltak meninggal tahun 1970 pada usia 55 tahun dengan status sari matua. Dari tiga orang anaknya, dua sudah menikah dan memberikan cucu. Satu orang lagi, anak bungsu, belum menikah.
Walaupun sari matua, rapat keluarga memutuskan tidak perlu menabuh Gondang Batak. Alasannya, gondang bukan keharusan untuk adat kematian sari matua. Keluarga tidak ingin disebut bersikap ria.
Maka upacara adat kematian sari matua Kakek Poltak dilaksanakan tanpa Gondang Batak. Begitupun, adat kematian itu berlangsung tiga hari lamanya.
Makam Kakek Poltak dibuat berundak dua, sebagai penanda dia meninggal sari matua, punya cucu dari anaknya.
Duapuluh tujuh tahun kemudian, tahun 1997, pada usia 82 tahun, Nenek Poltak menyusul mendiang suaminya. Status kematiannya saur matua bulung. Karena ketiga orang anaknya sudah menikah dan memberikan cucu semua, dan dari lima orang cucunya dia sudah mendapatkan cicit.
Nenek Poltak gagal meraih status kematiam saur matua mauli bulung. Karena dua orang anaknya, seorang menantunya, dan seorang cucunya sudah lebih dulu pergi menghadap Tuhan.
Karena saur matua bulung, artinya meninggal dengan kualitas capaian hamoraon-hagabeon-hasangapon, maka pada upacara adat kematian Nenek Poltak dihelatlah Gondang Batak. Kematian semacam itu memang sepantasnya ditortorhon, ditarikan, dirayakan dengan kegembiraan. Mesti disyukuri, pantang ditangisi.
Berhubung sebagian hula-hula Nenek Poltak adalah penganut Pentakosta yang mengharamkan musik gondang, agar mereka bisa ikut manortor, maka perangkat gondang diganti dengan perangkat musik tiup modern (terompet dan trombon). Maka manortor-lah semua pelayat menghantar Nenek Poltak saur matua bulung ke peristirahatan terakhir.
***
Begitulah. Budaya Batak merumuskan cara kematian paling agung bagi pemangkunya. Orang Batak berencana dan berikhtiar untuk mencapai taraf kematian paling agung itu. Tuhan, pemilik hidup, pada akhirnya menentukan cara orang Batak itu mati.
Maka, tentang kematian itu, hanya ada satu kalimat: "Seindah-indahnya rencana manusia, lebih indah adalah rencana Tuhan."
Demikianlah khotbah dari tengah sawah. Dari saya, Felix Tani, petani mardijker, dengan segala maaf kepada Chairil Anwar, karena "aku (tidak) ingin hidup seribu tahun lagi".***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H