Nenek Poltak gagal meraih status kematiam saur matua mauli bulung. Karena dua orang anaknya, seorang menantunya, dan seorang cucunya sudah lebih dulu pergi menghadap Tuhan.
Karena saur matua bulung, artinya meninggal dengan kualitas capaian hamoraon-hagabeon-hasangapon, maka pada upacara adat kematian Nenek Poltak dihelatlah Gondang Batak. Kematian semacam itu memang sepantasnya ditortorhon, ditarikan, dirayakan dengan kegembiraan. Mesti disyukuri, pantang ditangisi.
Berhubung sebagian hula-hula Nenek Poltak adalah penganut Pentakosta yang mengharamkan musik gondang, agar mereka bisa ikut manortor, maka perangkat gondang diganti dengan perangkat musik tiup modern (terompet dan trombon). Maka manortor-lah semua pelayat menghantar Nenek Poltak saur matua bulung ke peristirahatan terakhir.
***
Begitulah. Budaya Batak merumuskan cara kematian paling agung bagi pemangkunya. Orang Batak berencana dan berikhtiar untuk mencapai taraf kematian paling agung itu. Tuhan, pemilik hidup, pada akhirnya menentukan cara orang Batak itu mati.
Maka, tentang kematian itu, hanya ada satu kalimat: "Seindah-indahnya rencana manusia, lebih indah adalah rencana Tuhan."
Demikianlah khotbah dari tengah sawah. Dari saya, Felix Tani, petani mardijker, dengan segala maaf kepada Chairil Anwar, karena "aku (tidak) ingin hidup seribu tahun lagi".***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H