Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ekologi Kuburan: Nyamuk Mengamuk, Kambing Merana

11 Maret 2019   16:03 Diperbarui: 11 Maret 2019   22:07 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu ketiga Februari 2019. Ada ketaklaziman yang mengundang tanya di pekuburan Kampung Kandang, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Sejauh dan seluas mata memandang, hanya tampak warna hijau pada rerumputan di gundukan makam dan tajuk barisan pohon glodokan dan bintaro.

Lazimnya di gundukan-gundukan makam itu ada saja warna-warni bunga mawar, seruni, dan sedap malam yang terangkai di dalam aneka vas kaca dan tanah liat.

Kali ini, tidak ada warna-warni bunga di pekuburan Kampung Kandang. "Apa yang terjadi di pekuburan sini?" tanyaku dalam hati.

"Apa yang terjadi di sini?" Ini adalah pertanyaan ekologis. Sebab ekologi tidak berbicara tentang apa yang ada di satu bentang alam. Tetapi memberi jawaban tentang apa yang terjadi di suatu bentang alam.

Kuburan adalah suatu bentang alam buatan. Maka pertanyaan "apa yang terjadi di sini" berlaku pula untuk pekuburan. Secara spesifik, di sini berarti pekuburan Kampung Kandang.

***

"Dilarang pihak Kelurahan, Pak," jawab Kang Jangkung, perawat kubur kerabat kami, ketika saya tanyakan soal vas dan bunga-bunga yang mendadak hilang dari pekuburan.

Apa pasalnya? Pikirku. "Katanya jadi sarang nyamuk. Jadi petugas kelurahan turun untuk mengambil dan membuang semua vas bunga," Kang Jangkung menjelaskan lebih lanjut. Hebat. Dia tahu apa yang berkecamuk di benakku. 

Nyamuk Aedes aegypti memang sohor sebagai pembawa virus demam berdarah dengue (DBD) yang sedang berjangkit di Jakarta.

Menurut data 28 Januari 2019, Kecamatan Jagakarsa tercatat sebagai wilayah dengan kejadian tertinggi (incidence rate/IR per 100,000 penduduk) yaitu 19.27 IR. Menyusul Kalideres (16.94 IR), Kebayoran Baru (16.54 IR), Pasar rebo (13.93 IR) dan Cipayung (13.57 IR).

Sampai tanggal 27 Januari 2019 tercatat ada 613 kasus DBD di seluruh Jakarta. Sebanyak 231 kasus di antaranya, dan ini terbanyak, terjadi di Jakarta Selatan. Karena itu per Februari 2019 seluruh wilayah Jakarta masuk dalam kategori KLB DBD.

Berhubung di wilayahnya tercatat IR DBD tertinggi, wajar jika Walikota Jakarta Selatan memerintahkan aparatnya, camat dan lurah, untuk perang total terhadap nyamuk. "Amankan semua lahan kosong!" begitu perintah Pak Walikota.

Pekuburan termasuk dalam kategori lahan kosong yang ditengarai menjadi sarang nyamuk. Gara-gara di sana banyak vas bunga berisi air. Itu dicurigai menjadi tempat nyamuk bertelur dan kemudian menetas menjadi jentik-jentik.

Maka pekuburanpun menjadi kancah perang manusia melawan nyamuk yang mengamuk menyebarluaskan virus DBD. Atas perintah Walikota kepada Camat dan kemudian perintah camat kepada Lurah, maka genocida dilancarkan kepada masyarakat nyamuk di Jakarta Selatan.

Tidak cukup dengan senjata bahan kimia, antara lain pengkabutan (fogging), penggunaan larvasida, dan racun nyamuk rumahan. Genocida nyamuk juga dilancarkan dengan taktik 3M, menguras-menutup-mendaur ulang apa saja yang potensil sebagai sarang nyamuk.

Nah, vas bunga di pekuburan Kampung Kandang itu termasuk pada kategori obyek yang harus dikuras. Dengan kata lain dibuang dari areal pekuburan. Sebab tidak mungkin petugas kelurahan tiap sore datang ke kuburan khusus datang membuang air vas bunga, bukan?

Maka, sebagai bagian dari perang total melawan nyamuk Aedes aegypti penular DBD, pekuburan Kampung Kandang kini bersih dari vas bunga dan, tentu saja, bersih dari warna-warni bunga.

Sejauh mata memandang, hanya ada hijau. Kuburan Kampung Kandang kini benar-benar menjadi semacam lapangan rumput dengan tegakan pepohonan hijau di sana sini.

***

Memang terasa kurang sreg datang ziarah ke kuburan tanpa meninggalkan serangkai bunga dalam pot di atas makam.

Tapi sudahlah. Demi keselamatan umat manusia. Untuk mencegah DBD mengantar orang ke bawah tanah di Kampung Kandang. Ziarah tanpa bunga adalah kebajikan dalam konteks itu. Cukup bunga tabur yang katanya kelopak bunga mawar, nyatanya kelopak pacar cina. 

Kios bunga sepi pembeli (Dokumentasi Pribadi)
Kios bunga sepi pembeli (Dokumentasi Pribadi)
Pedagang bunga memang menjadi pihak pertama yang terpukul dengan larangan menaruh bunga dalam pot di pekuburan Kampung Kandang. Omsetnya langsung anjlok sejak larangan diberlakukan. 

Jarang peziarah yang membeli bunga sedap malam, seruni, dan mawar. Percuma, tidak ada vas untuk tempat menaruhnya. Paling juga beli satu tangkai untuk diletakkan di atas makam. Tapi itu juga jarang.

"Pakai botol air mineral saja, Pak," saran pedagang bunga memberi solusi atas vas bunga yang diangkut petugas kelurahan. "Terimakasih," jawabku. Ini bukan soal solusiatas ketidaaan vas bunga. Tapi kepatuhan pada keputusan perang total melawan nyamuk yang dikomandoi Pak Lurah.

Sempat juga terpikir untuk menaryuh kembang plastik di makam. Tapi teringat imbauan pemmerintah untuk mengurangi penggunaan barang-barang plastik. Ya, sudah. Biarkan makam gundul hijau dulu.

Selain pedagang bunga, masih ada yang mungkin merana pula dengan kebijakan larangan vas bunga di pekuburan. Itulah kelompok kambing kuburan. Ini kambing sungguhan.

Di kuburan Kampung Kandang memang ada sekelompok kambing yang setiap hari dilepas pemiliknya, orang kampung sekitar, untuk cari makan sendiri di kuburan. Kalau melihat dari ukuran tubuhnya, kambing-kambing itu tampaknya sudah tiga generasi.

Makanan kesukaan kambing-kambing ini, dan itu sangat menyebalkan, adalah bunga seruni dan bunga mawar yang ditaruh peziarah dalam vas di atas makam. Tak perlu menunggu 30 menit setelah peziarah pulang, bunga-bunga indah dan lumayan mahal itu pasti langsung tandas ke perut kambing.

Kambing-kambing Kampung Kandang merana mencari bunga (Dokumentasi Pribadi)
Kambing-kambing Kampung Kandang merana mencari bunga (Dokumentasi Pribadi)
Memang kambing-kambing pekuburan Kampung kandang sangat spesial. Selain makan rumput, mereka juga makan aneka bunga. Mengingat mawar adalah bunga yang sungguh wangi, maka boleh jadi tubuh kambing Kampung Kandang ini juga wangi seperti mawar.

Tapi sekarang, dengan adanya larang menaruh bunga di makam, kambing-kambing Kampung Kandang jadi merana. Mereka tidak bisa lagi menikmati bunga seruni dan bunga mawar gratisan. Tak mungkin juga mereka mencuri bunga di kios pedagang tanpa risiko kepala digetok pakai bata.

Ya, sudahlah. Kambing, pedagang bunga, dan peziarah memang harus bisa menerima dampak larangan menaruh vas bunga di kuburan. Mudah-mudahan para arwah di kuburan juga mahfumlah.

***

Gerimis turun ketika kami beranjak pulang dari kuburan. Di kejauhan, aku melihat dua anak berpegangan tangan, berlari menembus gerimis, pulang seusai latihan silat di tanah kosong di antara makam.

"Running through the rain, hand in hand, across the meadow ..." Ah, jadi teringat penggalan lagu Story Book Children dari Sandra Reemer & Andres Driesholten tahun 1969. Mengapa pula mendadak romantis di kuburan? 

Hei, sadarlah, Felix Tani, petani mardijker, ini di pekuburan, bukan di lapangan rumput. Ayo, perang total melawan nyamuk.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun