Jarang peziarah yang membeli bunga sedap malam, seruni, dan mawar. Percuma, tidak ada vas untuk tempat menaruhnya. Paling juga beli satu tangkai untuk diletakkan di atas makam. Tapi itu juga jarang.
"Pakai botol air mineral saja, Pak," saran pedagang bunga memberi solusi atas vas bunga yang diangkut petugas kelurahan. "Terimakasih," jawabku. Ini bukan soal solusiatas ketidaaan vas bunga. Tapi kepatuhan pada keputusan perang total melawan nyamuk yang dikomandoi Pak Lurah.
Sempat juga terpikir untuk menaryuh kembang plastik di makam. Tapi teringat imbauan pemmerintah untuk mengurangi penggunaan barang-barang plastik. Ya, sudah. Biarkan makam gundul hijau dulu.
Selain pedagang bunga, masih ada yang mungkin merana pula dengan kebijakan larangan vas bunga di pekuburan. Itulah kelompok kambing kuburan. Ini kambing sungguhan.
Di kuburan Kampung Kandang memang ada sekelompok kambing yang setiap hari dilepas pemiliknya, orang kampung sekitar, untuk cari makan sendiri di kuburan. Kalau melihat dari ukuran tubuhnya, kambing-kambing itu tampaknya sudah tiga generasi.
Makanan kesukaan kambing-kambing ini, dan itu sangat menyebalkan, adalah bunga seruni dan bunga mawar yang ditaruh peziarah dalam vas di atas makam. Tak perlu menunggu 30 menit setelah peziarah pulang, bunga-bunga indah dan lumayan mahal itu pasti langsung tandas ke perut kambing.
Tapi sekarang, dengan adanya larang menaruh bunga di makam, kambing-kambing Kampung Kandang jadi merana. Mereka tidak bisa lagi menikmati bunga seruni dan bunga mawar gratisan. Tak mungkin juga mereka mencuri bunga di kios pedagang tanpa risiko kepala digetok pakai bata.
Ya, sudahlah. Kambing, pedagang bunga, dan peziarah memang harus bisa menerima dampak larangan menaruh vas bunga di kuburan. Mudah-mudahan para arwah di kuburan juga mahfumlah.
***