Filosofi pendidikan. Murid berdiri di pundak gurunya untuk melihat lebih jauh ke depan.Â
Maka, pendidikan gagal jika murid pada akhirnya lebih bodoh dari gurunya. Â
Hasilnya adalah petaka dunia. Â Apa yang akan terjadi jika generasi penerus semakin lebih bodoh dari pendahulunya.
Maka berbahagialah seorang guru yang berhasil melepas  murid-murid yang hebat.  Sementara dia sendiri tetap lemot, tua dan lelah.
Itu sudah terjadi di Kompasiana, sebagai sebuah komedi yang layak disyukuri.
Tiga Murid Hebat
Three Musketeers di  Kompasiana,  Susy Haryawan, Pebrianov, dan S. Aji (nama depannya tak boleh diumumkan).  Tidak ada Kompasianer aktif yang tidak kenal dengan tiga penulis hebat ini.
Indikasi kehebatan mereka, setiap artikel yang ditayangkan pasti mendapat label "Pilihan" dan akrab dengan label "Artikel Utama". Â Jika ada artikel mereka yang "tanpa label", maka itu adalah artikel yang menurut subjektivitas mereka tergolong "gue banget". Â
Susy punya nilai lebih sendiri dibanding Pebrianov dan Aji karena dia pernah menyandang gelar Best In Opinion Kompasiana 2016.. Â Dia sudah menulis 2,108 judul artikel dan meraih predikat "Fanatik" dengan total nilai 75,239 poin. Â
Susy terkenal dengan artikel politik dan sosial-budaya yang dikemas dengan bahasa renyah, ringan, mengena, dan kerap nyelekit menggelikan. Mungkin itu adalah karakter aslinya yang tak mungkin diumbar di depan kelas.  Menjalani profesi guru, dia sadar mesti santun wibawa berujar di  depan murid-muridnya yang bengal.
Dengan membaca artikel Susy, kita segera tahu isu-isu politik yang sedang hangat, mulai dari isu konyol semacam kesirikan politisi kepada Jan Ethes sampai yang serius semacam kehebatan Jokowi dalam debat.Â
Saya pikir, Susy adalah tipe Kompasianer yang konsisten membangun dan memelihara jaringan komunikasi dengan sesama Kompasianer. Â Maka tidak heran jika rata-rata per artikelnya dilihat pembaca sebanyak 1,006 kali. Â
Pebrianov, sebenarnya hampir serupa dengan Susy. Lelaki pemalu ini juga penulis produktif untuk artikel-artikel politik dan sosial-budaya. Sudah menulis 1,187 judul artikel dengan rata-rata keterbacaan 1,332 kali per artikel. Â Dia ini juga tergolong Kompasianer "Fanatik" dengan nilai 60,165 poin.
Sebenarnya Pebrianov ini adalah arsitek yang lebih suka menulis ketimbang menggambar. Â Tulisannya yang monumental sebenarnya adalah puisi-puisi sadomasokis dalam skema baku-tikam dengan Kompasianer Desol, penulis puisi yang hebat.
Tidak jelas alasannya, kenapa Pebrianov kemudian meninggalkan ranah puisi lalu fokus pada artikel politik dan sosial-budaya. Â Menurut desa-desus yang tak usah dipercaya, itu ada kaitannya dengan persoalan lupa pakai celana sewaktu menulis puisi-puisi sadomasokisnya dulu.Â
Satu-satunya kekalahan Pebrianov dari Susy adalah dia belum pernah sekalipun meraih sesuatu predikat dalam gelaran Kompasianival. Kendati sudah masuk nominasi.
Aji juga begitu, nomine yang tak pernah meraih satupun predikat dalam helatan Kompasianival. Tentang Aji, yang akhir-akhir ini jarang muncul, tak ada yang perlu diragukan. Â Kalau soal mutu artikel. Â Dia adalah penulis puisi yang mengharu-biru pembaca. Â Penulis ulasan film yang hebat.Â
Saya sering heran. Â Bagaimana mungkin sosok yang sehari-hari berkeliaran di hutan Borneo ini sempat-sempatnya menonton film dan kemudian menuliskan resensi yang sungguh filosofis sekaligus sosiologis. Ada energi apa di belantara Kalimantan sana? Â Jika dia mampu menulis puisi yang mengharu-biru, di tengah hening hutan, masih masuk akal. Â Tapi, nonton film?
Ikhwal puisi-puisinya yang hebat itu sebenarnya dipicu oleh patah hati tak berkesudahan, karena kasih tak sampai pada idolanya, Vonny Cornellya yang entah di mana kini berada. Â Yang jelas, bukan di Kalimantan.
Memang Aji baru menulis 590 artikel, dengan keterbacaaan rata-rata 821 kali per artikel. Â Predikatnya juga baru "Penjelajah", dengan total nilai 30,890 poin. Â Tapi ada nilai heebatnya: Â hampir setiap artikelnya, termasuk puisi, mendapat label "Artikel Utama".Â
Untuk diketahui, Aji adalah penulis ulasan pertandingan sepak bola Liga Eropa yang handal. Â Ulasannya mengingatkan saya pada gaya ulasan Sindhunata di Kompas, dulu sekali.
Satu Guru Lemot
Yang menakjubkan dari tiga orang Kompasiner hebat itu, ternyata mereka mengaku punya seorang guru (suhu) di Kompasiana. Â Saya coba menyelediki jatidiri guru tersebut dari jejak-jejak digital pada artikel mereka.
Setelah bersusah-payah akhirnya pencarian saya berhenti pada seorang Kompasianer kelas penjelajah dengan nilai 22,803 poin. Â Lebih rendah dari raihan poin ketiga murid itu. Â
Jumlah artikelnya baru 677 judul, dengan keterbacaan rata-rata 958 kali per artikel. Â Sedikit lebih tinggi dari capaian Aji. Â Tapi saya kira itu terjadi bukan karena artikel Sang Guru itu lebih bermutu, tapi karena judulnya yang aneh-aneh. Â
Sebab kalau bicara soal mutu substansi artikel, maka Aji-lah pemenangnya. Â Artikel-artikelnya selalu bernas, argumentatif, puitis, dan menyisakan permenungan. Â Anda pasti menjadi lebih cerdas setelah membaca artikelnya.
Jika membanding mutu artikel Sang Guru dengan ketiga murid tadi, maka jelas Sang Guru kalah telak. Â Dia adalah produk masa lalu yang gaptek rupanya, yang masih bersandar pada teori-teori usang. Â Sedangkan Susy, Pebrianov, dan Aji, adalah generasi masa kini yang dinamis, kreatif, Â dan eksploratif, sehingga selalu menawarkan kebaruan dalam setiap artikelnya.
Sang Guru adalah pribadi yang lemot, ketinggalan jaman, sudah tua dan lelah.
Tapi Sang Guru adalah pembelajar seumur hidup. Jejak digital di Kompasiana menunjukkan dia tak sungkan menyatakan kekagumannya pafa Tiga Murid Hebat itu. Mengakui bahwa dia banyak belajar hal baru dan orisionil dari artikel-artikel Sang Murid.
Guru Diajar Murid
Moral komedi Tiga Murid Hebat dan Satu Guru Lemot ini adalah ketiafaan tirai pembatas antara guru dan murid. Pada awalnya murid belajar pada gurunya. Di ujungnya gurulah yang belajar pada muridnya.
Bersyukur komedi saling-ajar itu terfasilitasi di Kompasiana. Di sini setiap orang adalah Guru sekaligus Murid.
Begitu saja dari saya, Felix Tani, petani mardijker. Tiga Murid Hebat itu menyebutku Prof., Paman Guru, dan Suhu.Â
Tapi, sungguh, saya hanyalah seorang petani sederhana yang menulis di atas lumpur.***
*) Artikel ini ditulis sebagai penghargaan untuk kesetiaan rekan Susy, Pebrianov, dan Aji di Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H