Yang menakjubkan dari tiga orang Kompasiner hebat itu, ternyata mereka mengaku punya seorang guru (suhu) di Kompasiana. Â Saya coba menyelediki jatidiri guru tersebut dari jejak-jejak digital pada artikel mereka.
Setelah bersusah-payah akhirnya pencarian saya berhenti pada seorang Kompasianer kelas penjelajah dengan nilai 22,803 poin. Â Lebih rendah dari raihan poin ketiga murid itu. Â
Jumlah artikelnya baru 677 judul, dengan keterbacaan rata-rata 958 kali per artikel. Â Sedikit lebih tinggi dari capaian Aji. Â Tapi saya kira itu terjadi bukan karena artikel Sang Guru itu lebih bermutu, tapi karena judulnya yang aneh-aneh. Â
Sebab kalau bicara soal mutu substansi artikel, maka Aji-lah pemenangnya. Â Artikel-artikelnya selalu bernas, argumentatif, puitis, dan menyisakan permenungan. Â Anda pasti menjadi lebih cerdas setelah membaca artikelnya.
Jika membanding mutu artikel Sang Guru dengan ketiga murid tadi, maka jelas Sang Guru kalah telak. Â Dia adalah produk masa lalu yang gaptek rupanya, yang masih bersandar pada teori-teori usang. Â Sedangkan Susy, Pebrianov, dan Aji, adalah generasi masa kini yang dinamis, kreatif, Â dan eksploratif, sehingga selalu menawarkan kebaruan dalam setiap artikelnya.
Sang Guru adalah pribadi yang lemot, ketinggalan jaman, sudah tua dan lelah.
Tapi Sang Guru adalah pembelajar seumur hidup. Jejak digital di Kompasiana menunjukkan dia tak sungkan menyatakan kekagumannya pafa Tiga Murid Hebat itu. Mengakui bahwa dia banyak belajar hal baru dan orisionil dari artikel-artikel Sang Murid.
Guru Diajar Murid
Moral komedi Tiga Murid Hebat dan Satu Guru Lemot ini adalah ketiafaan tirai pembatas antara guru dan murid. Pada awalnya murid belajar pada gurunya. Di ujungnya gurulah yang belajar pada muridnya.
Bersyukur komedi saling-ajar itu terfasilitasi di Kompasiana. Di sini setiap orang adalah Guru sekaligus Murid.
Begitu saja dari saya, Felix Tani, petani mardijker. Tiga Murid Hebat itu menyebutku Prof., Paman Guru, dan Suhu.Â