Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Jangan Ajari Aku Menulis

13 Februari 2019   12:29 Diperbarui: 14 Februari 2019   08:06 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: arteroka.wordpress.com

Jejeran puluhan meter skripsi di perpusatakan universitas adalah malapetaka. 

Untuk topik dan masalah penelitian yang sama, cobalah hapus nama perusahaan atau desa obyek penelitian skripsi itu.  Lalu baca kesimpulannya.  Pasti sama.

Bukankah itu malapetaka?

Asal-usul malapetaka itu adalah buku pedoman penulisan karya ilmiah atau pelaporan hasil penelitian di kampus.

Pedoman penulisan ilmiah itu sama sekali tidak memberikan ruang inovasi, kreativitas, apalagi deviasi dari format baku. 

Jika mahasiswa berani inovatif, kreatif, apalagi menyimpang dari kaidah baku, upahnya adalah kelulusan tertunda.

Hasilnya adalah karya tulis ilmiah yang seragam, miskin variasi, sehingga membosankan.  Masalah diperparah oleh kemudahan teknologi komputer untuk kreasi "salin-tempel" (copy -- paste).

Maka skripsi umumnya adalah jilidan kertas berisi huruf-huruf tanpa makna.

Itulah buah tirani pedoman penulisan ilmiah. Ada yang mau protes?  Silahkan.

***

Saya perlu mendeklarasikan kesimpulan di atas, karena akhir-akhir ini mulai bermunculan lagi artikel dengan topik yang saya benci di Kompasiana. 

Artikel tentang cara menulis yang baik dan benar lagi kreatif.  Itu topik artikel yang saya benci.

Mengapa saya benci, silahkan membaca kembali trilogy artikel saya tentang "Anarkisme Tekstualisasi" di Kompasiana ini. 

Dicari sendirilah, kalau berminat.  Kalau malas mencari, ya sudah, tak jadi soal.

Intinya, dalam tiga artikel itu, saya menyatakan bahwa, petama, setiap orang adalah penulis.  Jika ada orang yang mengaku tidak bisa menulis, berarti dia menyangkal dirinya.

Kedua, karena setiap orang adalah penulis, maka karya tulis setiap orang bersifat khas, sesuai keunikan karakter individu.

Ketiga, kekhasan itu muncul karena setiap orang menulis (tektualisasi) secara anarkis. Artinya, tidak tunduk pada pedoman atau resep menulis yang baik dan benar menurut "orang yang merasa dirinya ahli menulis".

Sekali seseorang menulis seturut pedoman yang diajarkan "ahli tulis" itu maka dia telah "bunuh diri".  Karena tulisannya tidak akan mencerminkan dirinya.  Melainkan diri si ahli tulis yang dipanutinya. 

Menulis anarkis?  Mengapa tidak. Anarkis berarti bebas menggunakan metode dan teknik menulis apa saja.  Prinsipnya, "metode (menulis) saya adalah tanpa metode (menulis)".   Mudah, bukan?

Hanya ada tiga hal yang perlu menjadi tuntunan untuk menulis.  Pertama, logis atau masuk akal seturut pikiran sehat. Kedua, etis atau tidak merendahkan orang lain atau sesuatu apapun, seturut norma sosial.  Ketiga, estetis atau mengandung nilai keindahan, seturut subyektivitas penulis.

Tidak sulit untuk logis, etis, dan estetis.  Logika adalah bawaan lahir pada tiap orang, tinggal bagaimana mengasahnya dengan mempertanyakan kebenaran setiap hal.  Etika sudah diajarkan ibu sejak masih bayi.  Estetika tumbuh sejalan perkembangan kesadaran lingkungan.

Kapasitas logika, etika, dan estetika pada tiap orang itu unik, seturut perkembangan masing-masing sebagai mahluk sosial. 

Maka, logikanya, tulisan yang dihasilkan setiap orang juga bersifat unik, beda satu dari yang lain. Itulah buah anarkisme.

***

Setelah membaca tulisan ini, coba periksa lagi tulisan Anda di Kompasiana.  Apakah mirip tulisan Pak Tjiptadinata, Mas Susy, Bung Perbianov,  Mas Yon Bayu, Bung Tilaria, Bu Leya, Bu Heny, Mas Khrisna, Mas Jati, Mbak Mike,  Mas Giri, Mas Aji, atau siapa sajalah.

Jika dirasa-rasa mirip dengan tulisan mereka, atau siapa saja, berarti Anda sudah "bunuh diri".  Segeralah bangkit dari "kematian".  Lalu melangkah di jalan "anarkisme penulisan".

Lain waktu, kepada para ahli tulis yang gemar menebar tips menulis artikel, katakanlah, "Jangan ajari aku menulis!"

Tolong jangan salah tafsir dengan kalimat penolakan itu. Maknanya adalah, bagi penulis anarkis, pantang dikasih tahu tapi harus mencari tahu sendiri.

Dengan menjadi anarkis maka tiap orang menjadi penulis yang tampil beda. Sehingga jagad tulisan akan tumbuh menjadi ladang aneka bunga yang indah.

Malapetakalah dunia tulis-menulis ini jika semua tulisan berwarna seragam. Betapa membosankan, juga mengerikan.

Di dunia tulis-menulis Kompasiana misalnya cukuplah ada satu orang Pebrianov. Sebab tambahan satu lagi bisa bikin saya gila.

Begitu saja, dari saya Felix  Tani, petani mardijker, mengaku penulis anarkis.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun